Penderita Kusta Juga Manusia (Biasa)

Drs. Andik Matulessy, MSi

Diberikan dalam Acara Seminar Kesehatan Penyakit Kusta


�According to some criminologist, the stigmazitation resulting from police apprehension, arrest, and detention actually reinforces deviant behavior� Richard A Cloward & Lloyd E. Ohlin

Kusta beribu tahun yang lalu dianggap penyakit �kutukan� akibat banyak dosa yang dilakukan oleh seseorang. Seorang penderita kusta tidak hanya mengalami luka fisik terkait dengan penyakitnya, namun mengalami pula luka psikologis dan luka social. Luka fisik berupa virus yang menyebar begitu cepat menggerogoti anggota bagian tubuhnya yang bisa berujung pada kecacatan bahkan kematian. Luka psikologis berupa perasaan malu, tidak nyaman, pandangan negative tentang dirinya, hilangnya harga diri yang bisa mengarah pada runtuhnya kendali emosi yang berujung pada depresi. Luka social berupa penolakan dari sebagian besar orang yang diajak berinteraksi,mereka diasingkan, dianggap mengganggu, menular dengan mudah, dsb. Jadi beban berat para penderita kusta akibat penyakit yang sebenarnya tidak diinginkan akan semakin menggelembung pada luka psikologis dan social yang tidak mudah dan membutuhkan waktu yang lama untuk recovery atau penyembuhan. Artinya bisa saja seorang penderita yang sudah sembuh dari penyakitnya (medis/fisik), namun masih sulit untuk meletakkan dirinya sebagai orang normal, yang leluasa hidup nyaman. Pandangan negative bahwa kusta tidak bisa disembuhkan, masih menular, harus dikumpulkan dengan mantan penderita kusta yang lain. Stigmanegatif itu akan menjalar begitu cepat tidak hanya pada mereka yang berpendidikan rendah, namun banyak orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggipun akan berperilaku yang sama untuk �menjauh� dari para mantan penderita kusta.

Perilaku masyarakat seperti itulah yang akan menjadikan para penderita maupun mantan penderita kusta menjadi Warga Negara �kelas dua�. Padahal sebagai mahluk social, setiap orang pasti membutuhkan penerimaan dari lingkungannya. Semakin merasa diterima oleh lingkungannya,maka akan meningkatkan pandangan positif terhadap dirinya, meningkatkan perasaan berharga dan pada akhirnya akan meningkatkan perasaan mampua berperan dalam kehidupansehari-hari. Sebaliknya semakin mereka ditolak, diisolasi,didiskriminasi maka akan semakin menumbuhkan pribadi-pribadi yang negative,(1) yang secara pasif akan mengarahkan pada menurunkan percaya akan kemampuan dirinya, dengan cara meminta sesuatu pada lingkungannya atau mengemis; (2) secara aktif bisa mengarhkan pada terjadinya pola perilaku kriminal.

Berdasarkan kondisi tersebut maka perilaku masyarakat terhadap para penderita dan mantan penderita kusta seakan-akan �memenjarakan� mereka secara social. Penelitian Harris (dalam Pollock,2002) mengungkapkan 9 permasalahan psikologis yang bisa terjadi pada orang-orang yang dipenjara, antara lain : kebingungan (disorientation), berkurangnya aktivitas seksual (lack of heterosexual activity), berkurangnya dukungan social (lack of social support), hilangnya harga diri (loss of self esteem), hilangnya kemandirian (loss of autonomy), hilangnya tanggung jawab (loss of responbility), kurangnya privasi (lack of privacy), berkurangnya rasa aman (lack of security), dan berkurangnya kepemilikan (lack of property). Permasalahan tsb di atas memang bisa terjadi pada orang-orang yang dipenjara dalam arti sesungguhnya, namun demikian bisa juga terjadi pada penderita dan mantan penderita kusta bila analogi �penjara social� dari lingkungan sekitarnya diberlakukan pada mereka.

Menurut seorang ahli Psikologi Kurt Lewin, perilaku seseorang tidak bisa lepas dari pengaruh atau interaksi antara factor internal (kepribadian) dan eksternal (lingkungan). Karakter yang baik yang diperoleh dalam proses perkembangannya akan menumbuhkan orang-orang yang mampu mengatasi berbagai persoalan yang terjadi pada dirinya. Karakter positif tersebut misalnya seseorang memiliki kendali emosi yang baik, memiliki coping atau cara mengatasi stress yang positif, tidak mudah frustasi, memiliki problem solving yang bagus, matang,high self monitoring, dsb. Di sini proses internalisasi dan sosialisasi dari orang tua sangat berperan membentuk pribadi yang matang tsb.

Perilaku positif atau negative, normal ataupun abnormal akan sangat dipengaruhi juga oleh situasi social atau lingkungan di sekitarnya. Lingkungan yang bisa menerima dengan baik akan mengarahkan pada perilaku yang positif, sebaliknya lingkungan yang selalu memberikan punishment atau hukuman akan mengarahkan pada pola perilaku yang tidak adekuat atau menyimpang. Oleh karena itu penerimaan dan dukungan social akan sangat berpengaruh besar pada munculnya pribadi-pribadi yang sehat. Jadi interaksi antara factor karakter / kepribadian dan lingkungan akan sangat menentukan bagaimana seseorang akan berperilaku dalam mengatasi berbagai problem kehidupan dalam kesehariannya.

Isolasi / �pengasingan�, anggapan warga �kelas dua�, tiadanya penerimaan social, minimnya dukungan social dari lingkungan sekitar terhadap para penderita dan mantan penderita kusta disebabkan oleh adanya pandangan negative (stereotype) bahwa penyakit kusta adalah penyakit yang tidak bisa disembuhkan, mudah menular walaupun hanya dengan interaksi yang minim dsb. Informasi yang negative dan minim tersebut akan diolah sendiri dan dibuat penyimpulan / digeneralisasikan dengan mudahnya untuk men-judge mereka dengan stigma atau �cap� negative. Stigma tersebut akan semakin bertambah kuat saat orang lain juga memberikan informasi yang sama tentang penderita dan mantan penderita kusta tsb. Stereotype atau pandangan negative tsb lama kelamaan akan mengarahkan pada prasangka (prejudice) yang negative pula, yang dimunculkan dalam bentuk perasaan tidak senang apabila ada penderita atau mantan penderita kusta yang mencoba untuk menjalin interaksi. Prasangka atau syak wasangka akan semakin menggumpal saat informasi negative semakin diperkuat dan tidak ada informasi lain yang lebih positif tentang mereka. Prasangka inilah yang menjadi bibit tumbuhnya diskriminasi terhadap para penderita dan mantan penderita kusta. Mereka akan mendapatkan penolakan untuk melakukan sesuatu bersama (berkumpul, bertetangga), dianggap tidak layak untuk mengerjakan sesuatu yang bisa dikerjakan oleh orang normal (mereka dianggap kotor, �penyakitan�, serta cacat, sehingga hanya layak untuk menjadi peminta-minta/pengemis), tidak mendapatkan kesempatan memperoleh lahan kerja yang layak (sulit diterima di pekerjaan kantoran), tidak mendapatkan hak sebagai warga Negara (sulit mendapatkan KTP), tidak mendapatkan peran social yang memadai (tidak dilibatkan dalam kegiatan kampong atau perumahan), anak-anak mereka diasingkan dari pergaulan (orang tua ketakutan anaknya bermain atau berteman dengan anak yang orang tuanya menderita kusta), tidak diakui lagi oleh keluarganya, dan berbagai tindakan yang menepikan mereka pada berbagai bentuk ketidak-adilan.

Perasaan tidak adil akan semakin bertambah saat system (pemerintah) tidak memberikan mereka �lahan� untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi pada dirinya, antara lain : (1). Masih jarang ditemukan panti rehabilitasi untuk menangani persoalan medis, psikologis dan social bagi mereka di berbagai daerah. Padahal penyelesaian yang komprehensif diperlukan oleh mereka, karena bisa saja mereka sembuh secara medis, namun masih perlu meningkatkan kesiapan psikologis untuk mampu menerima dirinya, serta kesiapan social agar mereka bisa diterima dan beradaptasi dengan lingkungan sosialnya; (2). Masih minimnya kampanye atau pemberian informasi tentang penyakit kusta, sehingga banyak orang yang masih berpandangan negative pada penyakit kusta dan penderita serta mantan penderitanya. Padahal kampanye pemberian informasi ini melalui media elektronik maupun non-elektronik sangat efektif untuk merubah stereotype masyarakat tentang penyakit kusta; (3). Minimnya dana pemerintah yang digunakan untuk memberikan pendampingan agar mantan penderita kusta bisa memperoleh peluang kerja di masyarakat dengan memberikan pelatihan akan ketrampilan tertentu yang sesuai dengan kondisi mereka. Penguasaan akan ketrampilan sangat diperlukan agar mereka mampu mandiri untuk menghidupi dirinya dengan memperhatikan segala keterbatasan fisik akibat penyakit kusta.

Namun demikian peran pemerintah tanpa ada dukungan dari berbagai pihak tidak akan menyelesaikan persoalan yang terjadi pada para penderita dan mantan penderita kusta. Oleh karena itu perlu dilakukan Mobility of Community Programs : memobilisasi berbagai elemen masyarakat untuk turut serta menyelesaikan berbagai persoalan yang terkait dengan penyakit kusta, mulai dari LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Pendidikan, Organisasi keagamaan, Pemerintah, Organisasi Politik, dsb. Sebuah persoalan yang diselesaikan secara parsial tidak akan menemukan jawaban ideal dari sebuah persoalan kompleks seperti halnya penyakit kusta. Bagaimanapun juga mereka para penderita kusta dan mantan penderita kusta �hanyalah manusia biasa, yang tak pernah lepas dari khilaf, dan mencoba merubah segalanya, mungkin ada kesempatan� seperti lirik lagu grup band Radja.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment