Menemukan Pemimpin Perusahaan yang Ideal di Saat Krisis

Andik Matulessy

Analisis Dampak Psikologis Kebijakan Pemerintah ORDE BARU dan ORDE REFORMASI Terhadap Pimpinan Perusahaan

�There are no great men. There are only great chalenges which ordinary men are forced by circumtances to meet � (Admiral Halsey)




PENDAHULUAN

Sebagaimana termaktub dalam Undang Undang Dasar 1945 bahwa dalam perekonomian nasional yang terwujud dalam pembangunan nasional seharusnya berorientasi kerakyatan. Hal tersebut berarti program-program pembangunan harus mengedepankan pada kepentingan rakyat, meningkatkan peran aktif rakyat dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Secara lebih luas lagi hasil-hasil pembangunan seharusnyalah memenuhi kebutuhan mendasar bagi masyarakat secara adil, makmur dan merata.

Operasionalisasi dari konsep pembangunan pada masa Orde Baru tersebut diterjemahkan dalam bentuk pembangunan dari atas (Development from Above), yakni menekankan pada pengembangan pusat-pusat pertumbuhan, terutama sektor-sektor perkotaan dengan konsentrasi pada industri padat modal, dan didominasi oleh program-program dan proyek-proyek yang berteknologi tinggi dan besar atau raksasa.

Selain itu konsep pembangunan dari atas sebenarnya didasari oleh strategi divergen-konvergen, artinya pada saat awal pasti akan muncul perbedaan pendapatan yang amat besar antara sektor industri daerah dan perkotaan. Namun demikian setelah berbagai kegiatan ekonomi besar sudah menampilkan kesuksesan diharapkan terjadi trickle down effect dan spread effect yang akan membawa pada pemerataan ekonomi di sektor pertanian dan desa atau daerah. Namun demikian kenyataannya pemunculan proses perubahan tersebut membutuhkan waktu yang lama sampai berpuluh-puluh tahun. Akhirnya pola-pola pembangunan yang bersumber dari atas seperti itu memunculkan berbagai dampak negatif (Soelistyo,1997), yaitu: Ketergantungan yang semakin besar kepada negara-negara maju maupun pada kelompok perusahaan-perusahaan multinasional; Dominasi yang abadi dari satu atau beberapa kota besar, padahal kota-kota tersebut justru mempunyai permasalahan dasar yang berupa pengangguran, khususnya pengangguran terselubung; Meningkatnya ketimpangan distribusi pendapatan; Merebaknya kekurangan makanan pokok yang terus menerus terjadi dan bahkan semakin lama semakin besar jumlahnya; serta Semakin memburuknya kondisi perekonomian di pedesaan.

Selain itu program pembangunan yang �terlalu� menekankan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi & stabilitas nasional yang mantap untuk mengamankan pembangunan ternyata cenderung �melupakan� konsep pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang bisa langsung dinikmati oleh masyarakat. Akibatnya akan terjadi suatu proses perjalanan ekonomi Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh kelompok birokrat dan orang-orang atau kelompok yang bisa �dekat� dengan birokrat. Akibatnya porsi pembangunan sebagian besar diambil oleh konglomerat kelas kakap yang notabene dekat dengan birokrasi kekuasaan. Walaupun program-program debirokratisasi sudah dicanangkan pemerintah, tapi kenyataan yang ada adalah masih tingginya kerjasama para pengusaha besar dan birokrasi.

Hal tersebut di atas seperti yang diungkapkan oleh Prof.Dr. Prijono Tjiptoherijanto (Jawa Pos, 4 Mei 2000), bahwa pengutamaan pada kelompok tertentu dalam peningkatan pembangunan telah menimbulkan ketimpangan struktur dunia usaha, terlihat dari kenyataan sebagian besar ekonomi terpusat pada sebagian masyarakat yang memiliki akses untuk memperoleh berbagai kemudahan dari pemerintah. Terpusatnya kekuatan ekonomi pada kelompok yang sesungguhnya tidak memiliki daya saing telah mengakibatkan rapuhnya landasan perekonomian nasional. Distribusi pendapatan yang kurang merata tsb menimbulkan kesejangan sosial ekonomi yang terkenal dengan poros trisula yakni militer---birokrasi---konglomerat yang memiliki hubungan dekat dengan poros nasional.

DAMPAK MODEL PEMBANGUNAN ORDE BARU PADA MASYARAKAT

1. Kemiskinan : Memang bila dilihat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak Orde Baru termasuk fantastis, roda pembangunan berjalan dengan cepat seiring dengan modernisasi, namun demikian jurang perbedaan antara kelompok kaya dan miskin, daerah dan ibukota, desa dan kota, serta Jawa dan Luar Jawa, menjadi semakin lebar. Dampak langsung dari kondisi seperti ini adalah munculnya berbagai kantong-kantong kemiskinan di seantero wilayah di Indonesia, di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Seperti yang terungkap dari hasil data Biro Pusat Statistik Indonesia tahun 1997 (data perkiraan sampai dengan akhir Juni 1998), bahwa jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan dan di daerah perkotaan mengalami peningkatan yang fantastis, yakni 15,4 juta penduduk miskin di pedesaan dan 41,5 juta orang pada daerah perkotaan. Tentunya penduduk miskin di kota dan pedesaan akan semakin bertambah dengan adanya kaum urban yang kembali ke pedesaan. Sampai dengan pada akhir tahun ini jumlah penduduk miskin di pedesaan diprediksikan masih terus meningkat dengan tajam.

2. Akumulasi Ketidakpuasan : Dampak lain dari pembangunan yang tidak merata adalah terakumulasinya ketidakpuasan akibat kepincangan sosial yang dibiarkan secara terus menerus (Matulessy, 1997b). Selama ini individu secara psikologis akan me�repressed� dalam sikap yang nampaknya diam dan pasrah, tapi sebenarnya penuh dengan pertentangan-pertentangan atau gejolak yang setiap waktu bisa muncul dalam energi yang amat sangat besar. Puncak ketidakpuasan yang terjadi pada masyarakat adalah munculnya berbagai macam permasalahan-permasalahan sosial dan krisis ekonomi yang berkepanjangan di Indonesia.

Fenomena-fenomena permasalahan sosial yang patut dicatat pada era reformasi ini adalah sebagai berikut (Matulessy, 1998) :

a. Maraknya demonstrasi pada hampir semua lapisan masyarakat. Demonstrasi yang sebelumnya menjadi trade-mark bagi buruh dan mahasiswa, ternyata menjadi trend bagi karyawan, siswa SD-SMP-SMA, karang taruna, aktivis politik, masyarakat desa dan guru yang sebelumnya �takut� bersuara ternyata mulai berani bergolak. Bahkan demonstrasi menjadi semacam �sarapan pagi� pada hampir semua media massa. �Tiada hari tanpa demo� itulah yang menjadi semboyan saat ini. Konsekuensi langsung dari adanya unjuk rasa adalah terhentinya kegiatan bisnis, kemungkinan bentrokan fisik, provokasi kelompok yang tidak bertanggung jawab, serta akan berakibat munculnya kelompok kontra demo.
b. Maraknya kerusuhan yang bernuansakan etnis dan SARA. Kerusuhan yang terjadi biasanya dimulai dari konflik-konflik yang sederhana, namun dihembuskan dalam bahasa SARA, sehingga bisa meningkatkan ketegangan sosial antar etnis atau agama. Kerusuhan yang terjadi tidak berhenti, karena suatu kerusuhan akan ada pembalasan lewat kerusuhan lain di tempat yang sama atau berbeda. Dampak langsung dari kerusuhan tersebut adalah terhentinya roda ekonomi dan mengurangi rasa aman bagi masyarakat.
c. Maraknya keinginan disintegrasi. Problem keinginan disintegrasi atau keluar dari negara Kesatuan Republik Indonesia dari berbagai daerah tersebut merupakan suatu hal yang logis, karena merasa tidak mendapat perlakuan adil dari Pemerintah Pusat dalam pembagian hasil pendapatan daerah. Potensi daerah yang begitu besarnya tidak mendapat respon yang sepadan, sehingga ada daerah yang merasa mendapat �sisa� dari hasil bumi yang diserap di Jakarta. Keinginan disintegrasi ini apabila dibiarkan akan menjadi bumerang dan menimbulkan konflik yang lebih besar bagi kesatuan negara yang kita cintai ini.
d. Demokratisasi politik atau kebebasan berdemokrasi. Demokrasi bagi sebagian besar masyarakat diterjemahkan sebagai keinginan untuk bebas berpartisipasi di bidang politik, bebas mendirikan partai politik, memilih partai politik, serta merevisi aturan-aturan yang ada pada sistem politik. Tentunya maraknya partai politik (kurang lebih 200 partai) dengan berbagai macam kepentingan akan menyebabkan ketidakseimbangan dari sistem yang ada, sehingga dimungkinkan munculnya pertentangan antar partai politik yang ada, yang nampak dari ketegangan dalam �kampanye jalanan�.
e. Ketidakpercayaan & perlawanan terhadap sistem yang ada. Berbagai perlawanan terhadap sistem tersebut akhir-akhir ini banyak sekali muncul di permukaan. Berawal dari demonstrasi yang mempertanyakan kinerja lembaga tertinggi negara MPR/DPR; ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga eksekutif dari daerah sampai dengan pusat yang dianggap penuh dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; perlawanan terhadap simbol-simbol negara, baik sipil maupun militer; serta ketidakpercayaan pada lembaga peradilan dari yang rendah sampai dengan Mahkamah Agung, sehingga memunculkan aspirasi �pengadilan jalanan�.
Semua fenomena sosial di atas tentunya akan menimbulkan permasalahan ekonomi yang lebih luas, yakni :

1. Terhentinya roda pembangunan, karena kegiatan penggalangan massa, baik yang sifatnya demonstrasi/ unjuk rasa, pawai akbar, kampanye, maupun kerusuhan. Bagaimanapun juga pembangunan membutuhkan dana yang tidak sedikit, partisipasi aktif masyarakat, serta situasi-kondisi politik yang mapan. Munculnya berbagai demo membuat roda pembangunan akan berjalan lambat, atau bahkan terhenti, harga kebutuhan naik, langkanya barang dan turunnya kepercayaan dunia untuk memberikan hutang. Dampak lain, akan muncul rasa tidak aman bagi anggota masyarakat untuk melakukan kegiatan perekonomian.
2. Permasalahan lain akibat depresi ekonomi yang berkepanjangan adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin, yang dipicu oleh maraknya pemutusan hubungan kerja pada sebagian besar tenaga kerja karena roda produksi sebagian besar perusahaan yang terhenti. Akhirnya pengangguran memingkat dengan tajam, terutama para tenaga kerja yang berasal dari pedesaan.
3. Selanjutnya kemiskinan dan pengangguran tersebut akan berakibat pada meluasnya kejahatan secara kuantitas maupun kualitas. Kejahatan yang diistilahkan oleh DiRenzo (1990) sebagai disorganisasi sosial merupakan suatu bentuk patologi sosial yang bermuara pada lemahnya kontrol sosial, serta meningkatnya tekanan ekonomi, sosial dan politik pada sistem sosial yang ada. Individu semakin berani berbuat kejahatan di tempat-tempat umum, sementara orang-orang di sekitarnya hanya jadi �penonton�.

Semua problem di atas sebenarnya bersumber dari ketidakpuasan individu akan semua kondisi yang ada. Ketidakpuasan psikologis tersebut diistilahkan oleh beberapa ahli sebagai berikut :

1. Sense of discontent (ketidakmampuan individu untuk mengungkapkan perasaannya), communication of discontent (ketidakmampuan individu untuk mengkomunikasikan kebutuhan/ keinginannya), social attribution of discontent (ketidakmampuan meningkatkan peran pada kehidupan sosial), probability of resolution of discontent (ketidakmampuan mendapatkan kemungkinan penyelesaian masalah) & resource mobilization (adanya mobilisasi sumber daya manusia) (DiRenzo, 1988).
2. Individu tidak mendapatkan pemuasan kebutuhan yang adekuat (social response/ tanggung jawab sosial, social acceptance/ penerimaan sosial, social recognition/ rekognisi sosial, affection/ rasa kasih sayang, dan secutiry/ rasa aman), sehingga mengarahkan psychological dysfunction/ permasalahan psikologis yang serius (Pines, 1981; Evans, 1972; Spitz, 1945).
3. Inconsistency status/ status yang selalu berubah-ubah (Geschwender, 1967; Orum, 1974; Allen et.al, 1980); Cummulative Deprivation / perasaan kekurangan yang terakumulasi (Legett, 1964; Zeitlin, 1966; Allen et.al, 1980); Relative Deprivation / perasaan kekurangan yang relatif terutama adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan (Davies, 1962; Gurr, 1972; Allen et al, 1980); Raising Expectation / semakin meningkatnya harapan akan sesuatu (Allen et al, 1980); Isolation / perasaan diasingkan dalam kehidupan sosial (Korenhauser, 1959).

DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH ORDE REFORMASI PADA MASYARAKAT

Dampak kebijakan pemerintahan Orde Baru tidak bisa hilang begitu saja dengan munculnya Kabinet Persatuan Nasional yang dianggap legitimate dan dikomandani oleh K.H. Abdurrahman Wachid, atau lebih dikenal dengan Gus Dur. Gus Dur yang di dalam sejarah kehidupannya lebih banyak berkumpul di kalangan pondok pesantren ternyata tidak bisa lepas dari keberadaan sebagai anggota komunitas kesantrian, yang membentuk suatu frame of references yang khas dan �mungkin� hanya bisa dipahami oleh komunitas itu sendiri. Selain itu kedudukan seorang kyai dianggap sebagai figur sentral yang kharismatik, yang memiliki kekuatan supranatural dari Tuhan, kelebihan dalam berbagai bidang keilmuan, partisipasi komunitas dalam mekanisme kepemimpinan yang kecil serta mekanisme kepemimpinan tidak diatur secara birokratik (Arifim, 1993). Oleh karena itu segala sesuatu yang dilakukan tidak pernah dipermasalahkan oleh komunitas pendukungnya. Apalagi tampilnya Gus Dur dianggap sebagai �petunjuk dari langit� pada pertemuan para kyai di Pondok Langitan. Kondisi seperti di atas ternyata di-mix-kan dengan perkembangan wawasan pribadi yang berorientasi pada kehidupan demokrasi, humanis serta seni-budaya. Akhirnya yang muncul adalah berbagai keputusan yang dianggap �membingungkan� dan �kontroversial� pada hampir sebagian besar anggota masyarakat.

Selain itu Kabinet Persatuan Nasional yang dibangun dari berbagai elemen partai ternyata menimbulkan �ketidak-kompakan� dalam pengambilan keputusan. Mereka dianggap lebih mementingkan persoalan partai daripada masyarakat luas, sehingga banyak sekali keputusan yang tumpang tindih. Persoalan tersebut ditambah dengan munculnya berbagai Dewan/ Komisi Ekonomi dan Hukum yang belum tentu kinerjanya terbukti efektif dalam menyelesaikan krisis ekonomi.Akhirnya pemulihan ekonomi yang sangat diharapkan oleh seluruh masyarakat terhalang oleh faktor-faktor non-tehnis, hukum dan politis, seperti pencopotan dua mentri bidang ekonomi dan isu retaknya Gus Dur � Mega direaksi sedemikian besar oleh pasar, sehingga nilai tukar rupiah dan indeks bursa langsung jatuh pada posisi yang agak mengkhawatirkan. Oleh karena itu Gus Dur harus segera kembali pada komitmen untuk pemulihan ekonomi dan mengurangi kebijakan-kebijakan yang kontroversial (Jawa Pos, 4 Mei 2000).

Pergantian kabinet Gus Dur dengan kabinet Gotong Royong yang dipimpin oleh Megawati Sukarno tidak juga menyelesaikan persoalan di masyarakat luas. Kabinet yang masih bercirikan political bargaining, tidak serta merta menurunkan ketegangan dan permasalahan. Bahkan berbagai persoalan yang terkait dengan terorisme semakin meningkat dengan munculnya kasus bom di Legian Bali. Kondisi ini menjadi semakin parah, karena dampaknya tidak hanya secara regional tapi menciptakan persoalan di berbagai bidang utamanya perekonomian nasional. Selain itu semakin meruncingnya eskalasi pertarungan antar kelompok di masyarakat luas.

Persoalan-persoalan elit politik di atas tsb amat mempengaruhi situasi dan kondisi masyarakat, antara lain masih maraknya demo terutama dari para buruh yang sebelumnya berbicara tentang hak asasi manusia, kemudian berubah orientasinya pada persoalan peningkatan kesejahteraan. Upah Minimum Regional yang diterapkan pemerintah ternyata kurang mempertimbangkan kondisi perusahaan yang �terpuruk� akibat krisis ekonomi yang berat yang diawali dari tahun 1997. Bagi perusahaan yang besar dan memiliki hubungan dekat dengan birokrat akan lebih survive dari hal-hal tersebut. Namun demikian bagi perusahaan kecil s/d menengah atau perusahaan besar yang �tidak dekat� dengan penguasa akan menyulitkan untuk mengembangkan suatu perusahaan. Apalagi banyaknya �preman� yang bertindak atas dasar keamanan ternyata meningkatkan �cost� pada produksi sehingga hargapun menjadi tinggi, padahal daya beli masyarakat semakin menurun maka banyak perusahaan yang gulung tikar atau mengurangi biaya / gaji buruh ataupun menggunakan cara PHK. Ditambah lagi banyak bermunculan organisasi buruh kadang-kadang memprovokasi para buruh untuk menghentikan jalannya perusahaan dengan melakukan berbagai demo.

Ada beberapa contoh yang terjadi di Jawa Timur seperti kasus demo pekerja Maspion yang menginginkan kenaikan upah, yang sempat menimbulkan bentrokan besar dengan aparat; demo karyawan Gudang Garam yang disebabkan kesalahan persepsi tentang pesangon pada buruh; demo buruh pabrik kertas PT Pakerin yang menuntut kenaikan upah menjadi 35 � 44 %, padahal sebelumnya didemo juga oleh warga dari 4 desa seputar PT Pakerin; demo 500 buruh PT Terang Fajar Persada yang menuntut kenaikan uang makan dan transportasi, jam lembur yang tidak sesuai aturan, serta kenaikan berkala; demo 600 pekerja PT Sasa yang menuntut kenaikan upah pekerja, perlunya membangun kantor SPSI, tambahan uang sesuai masa kerjanya serta mempertanyakan pemotongan oleh PT Prawita yang bergerak di bidang penyaluran kerja; dan demo 6000 buruh PT Ecco Indonesia yang mempertanyakan aturan dari perusahaan yang menyimpang seperti uang ganti cuti haid, premi hadir, upah lembur di hari besar (Sumber Jawa Pos dan Surya). Demo-demo seperti di atas semakin menjadi lebih besar saat media massa mengungkapkannya, apalagi kemudian �dibumbui� dengan berbagai macam informasi yang belum tentu benar. Selain demo yang semakin marak tersebut menimbulkan efek belajar (social learning) pada karyawan dari perusahaan lain untuk berdemo juga untuk mengungkapkan keinginannnya. Hal tersebut karena uangkapan yang dilakukan secara demonstratif dan kolektif lebih banyak mendapatkan perhatian (Matulessy, 1999).

DAMPAK PSIKOLOGIS PADA PEMIMPIN PERUSAHAAN

Kebijakan yang kurang mempertimbangkan kondisi perusahaan, meningkatnya �cost� akibat korupsi dan kolusi serta raising expectation dari para buruh akan kesejahteraan, menimbulkan masalah bagi pimpinan perusahaan. Hal yang paling memungkinkan munculnya persoalan psikologis adalah :

1. Stres. Stress is a negative emotional experience accompanied by predictable physiological, biochemical, and behavioral changes that are designed to reduce or adapt to the stressor either by manipulating the situation to alter the stressor or by accomodating to its effect (Baum dalam Taylor et.al, 1994).

Ada beberapa kondisi yang bisa menimbulkan stres yakni :

a. Negative or unpleasant events : kejadian yang tidak menyenangkan atau negatif akan dipersepsikan sebagai sebagai suatu tekanan psikologis dan menyebabkan gejala-gejala fisik yang mengganggu (Mc Farlane et al, 1980; Myers et al, 1972; Sarason et al, 1978)
b. Uncontrolable or unpredictable events : kejadian yang tidak dikontrol dan tidak dapat diramalkan datangnya akan menyebabkan tekanan dalam pembuatan perancanaan atau mengembangkan cara dalam coping dengan problem (Bandura et ala, 1988; Mc Farlane et al, 1980; Suls & Mullen, 1981).
c. Ambiguous events : seringkali kejadian yang membingungkan dipersepsikan lebih menimbulkan tekanan daripada clear-cuts events. Hal tersebut karena penyebab stres yang nyata lebih cepat mengarahkan orang untuk membuat suatu solusi dan tidak meninggalkan cara penyelesaian masalah ( Billing & Moos, 1984; Gal & Lazarus, 1975)

Munculnya stres tidak hanya menyebabkan tekanan emosional dan perubahan-perubahan psikologis, tetapi juga bisa mengarahkan pada kondisi sakit (illness). Kondisi stres yang bisa menimbulkan penyakit tersebut antara lain :

1) Major stressful life events; kejadian-kejadian yang penuh dengan tekanan yang terjadi pada para pimpinan perusahaan bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius. Hal tersebut karena ada perubahan yang sangat besar dalam kehidupan sehari-harinya.
2) Daily Hassles ; persoalan yang datang dalam keseharian akan memberikan dampak negatif yang bisa terakumulasi pada menurunnya kesehatan mental. Konflik interpersonal dengan karyawan/ staf misalnya merupakan persoalan yang bisa menimbulkan terganggunya kesehatan (Bolger et al, 1989)

2. Kebingungan dalam Pengambilan Keputusan : Pada teori cognitive dissonance (Leon Festinger, 1957) suatu keputusan bisa terganggu bila ada dua atau lebih kognisi (fact, belief, knowledge) bertentangan satu dengan yang lain, karena muncul disonansi atau tekanan terhadap konsistensi. Apalagi bila dua kognisi/ lebih tersebut memiliki kadar yang seimbang akan semakin menimbulkan kondisi disonance yang semakin besar. Disonansi yang besar akan menyebabkan tekanan psikologis, dan meningkatkan kecenderungan untuk mengarahkan pada kondisi yang consonance/ seimbang. Begitu juga dengan para pemimpin perusahaan ada persoalan yang menimbulkan kebingungan, di satu sisi melihata kenyataan bahwa debirokratisasi akan semakin memudahkan kinerja dari perusahaan namun demikian pada kenyataan yang lain ada banyak person yang harus �dilewati� untuk mengurus ijin suatu perusahaan. Kebingungan atau keraguan dalam pengambilan keputusan menyebabkan ketakutan untuk mengambil keputusan secara cepat dan benar. Apalagi bila sudah dihadapkan pada pilihan yang sama-sama sulit, misalnya mem-PHK sebagian karyawan atau memperpanjang umur perusahaan. Padahal keraguan untuk mengambil keputusan bisa menimbulkan kesalahan dalam pengambilan keputusan.

PEMIMPIN YANG IDEAL DALAM MENGATASI KRISIS

Kepemimpinan yang ideal adalah yang mengikuti model kepemimpinan dari para Rasul yang bertujuan menegakkan keadilan dan menentang kezaliman. Menurut Jalaluddin Rakhmat (1999) para Rasul tsb menurut Al-Qur�an dilengkapi dengan tiga cara, yakni : Pertama mengajak orang-orang untuk mengikuti nilai-nilai yang diturunkan oleh Tuhan atau yang disebut dengan al-kitab, yang mengajak manusia kembali ke fitrah kemanusiaan dan nilai-nilai Illahiah. Kedua, tidak semua orang bisa diubah dengan al-kitab, maka perlu juga al-mizan atau argumentasi rasional dan akal sehat yang mendorong kejernihan berfikir, yang termaktub dalam Al-Qur�an 2:111, 21:24, 27:64; 28:75, yakni �hatu burhanakum in kuntum shadiqien (perlihatkanlah bukti-bukti kalian kalau kalian benar. Ketiga, strategi kekuasaan (power strategy), atau al-hadid. Jadi seorang pemimpin diharapkan pertama-tama menekankan pada nilai-nilai moral yang akan menjadi panutan dalam bersikap dan berperilaku, diharapkan dengan patokan nilai-nilai agama dan bersandar pada keagungan Allah akan menurunkan kadar stres dan kebingungan, walaupun kadang-kadang harus melawan sistem yang ada. Diharapkan dengan kembali berpedoman Al-Qur�an dan Hadist akan mampu memunculkan sikap dan perilaku yang bijaksana dalam menghadapi fenomena pembusukan kebijakan (policy decay) atau budaya korupsi & kolusi yang amat sulit dihapuskan. Paling tidak perubahan-perubahan tersebut bisa dimulai dari komunitas yang kecil yang memiliki potensi untuk mengambil keputusan akan kehidupan orang lain (karyawan), walaupun kadang-kadang harus berperang melawan sistem yang masih menyisakan cara berfikir orde baru. Seperti yang diungkapkan Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi; �Perubahan Sosial dapat terjadi walaupun hanya sebagian kecil dari masyarakat yang menghendakinya, asalkan mereka memiliki komitmen (dan tentu altruisme alias semangat syahadah yang tinggi)�.

DAFTAR PUSTAKA

Lynton, R.P., Pareek, U. 1984. Pelatihan dan Pengembangan Tenaga Kerja. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.


Djalali, M.As�ad. 1985. Upaya Antisipasi Psikologis Dalam Rangka Realisasi Pasar Bebas APEC. Fenomena. Februari 1995.

Soelistyo. 1997. Pemerataan Dalam Pembangunan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Ekonomi Univ. Gajah Mada. Yogyakarta.

Murbyarto; Soetrisno,Loekman; Dove,Michael.1984. Nelayan Dan Kemiskinan. Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai. CV. Rajawali. Jakarta.

Combs,Philip H; Ahmed,Manzoor. 1985. Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Non-Formal. CV. Rajawali. Jakarta.

Allen,D.E; Guy,R.F. & Edgley,C.K.1980. Social Psychology as Sosial Process. Wadworth Inc. California.

Mursi, Abdul Hamid. 1997. SDM yang Produktif Pendekatan Al-Qur�an & Sains. Gema Insani Press. Jakarta.

Sajogyo.1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Yayasan Agro Ekonomika. Bogor.

Effendi, Tadjuddin Noer; Weber, Helmut. 1993. Industrialisasi di Pedesaan Jawa. Pusat Penelitian Kependudukan UGM-Yogyakarta dan Friedrich Ebert Stiftung, Goethe Institute. Jakarta.

Bakir, Zainab; Manning Chris. 1984. Angkatan Kerja di Indonesia : Partisipasi, Kesempatan, dan Pengangguran. CV. Rajawali. Jakarta.

Suparlan, Parsudi. 1988. Kemiskinan di Perkotaan. Sinar Harapan. Jakarta.

DiRenzo,G. 1990. Human Social Behavior. Concepts & Prinsiples of Sociology. Holt, Rinehart & Winston. New York.

Geschwener,J.A.1967. �Continuities in the Theories of Status Consistency and Cognitive Dissonance�. Social Forces. 46,160-171.

Orum,A.M.1974. �On Partisipation in Polotical Protest Movements�.Journal of Applite Behavior Science. 10,181-207.

Rakhmat, Jalaluddin. 1999. Rekayasa Sosial : Reformasi atau Revolusi ?. Rosda. Bandung.

Wiggins,J.A; Wiggins,B.B. & Zanden,J.V. 1994. Social Psychology, McGraw- Hill, Inc.New York.

Arifin, Imron. 1993. Kepemimpinan Kyai : Kasus Pondok Pesantren Tebuireng. Kalimasadha Press. Malang.

Taylor,ET., Peplau,LA., Sears,DO. 1994. Social Psychology. Prentice-Hall.Inc. New Jersey.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment