PANCASILA SAKTI ?

Revitalisasi Pandangan Hidup dalam Era Reformasi

Andik Matulessy


�Tidak sadja partai yang berpengaruh dibandjiri oleh orang-orang jang tidak pada tempatnja disitu, tidak sadja djabatan-djabatan negara diisi dengan orang-orang jang tidak memenuhi sjaratnya�.Pembangunan ekonomi nasional tidak dilakukan menurut dasar-dasar yang tertanam didalam Undang-Undang Dasar, melainkan menurut kepentingan orang-orang partikulir. (Mohammad Hatta dalam Pidato Pada Hari Alumni I Universitas Indonesia, 11 Djuni 1957)

Pendahuluan

Memperbincangkan Pancasila dalam pemikiran saya selama ini menggambarkan 2 kutub yg saling berlawanan yakni Pancasilais dan Komunis. Artinya kalau kita tidak Pancasilais maka cap atau stigma Komunis akan dilekatkan pada diri kita. Bahkan konsep seperti ini diajarkan (setelah sekarang ini baru tahu itu namanya didoktrinkan) dari sejak saya berada di lingkungan keluarga, sekolah dasar, mahasiswa sampai menjadi pegawai. Sampai sekarangpun dengan berbagai keterbatasan saya dalam memahami apa itu Pancasila, tentunya tulisan ini mencoba mengkritisi penghayatan akan Pancasila di era reformasi ini.

Pengalaman masa kecil saya, mata ajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Pancasila sampai dengan Penataran P4, sangat membosankan, tapi juga menegangkan karena kalau nilainya buruk atau tidak lulus, maka jangan harap akan bisa melanjutkan pada jenjang berikutnya. Padahal isi materinya sih tidak begitu menyulitkan karena yang penting hafal Pancasila plus 36 butir-butir Pancasila, pasti dijamin kita akan lolos dari sergapan �cap� komunis.

Di banyak kejadian lain, ada juga fenomena yang mengupayakan menabrakkan antara Agama dengan Pancasila. Nampak dari beberapa pondok pesantren yang tidak mau menjadikan Pancasila sebagai sebuah dasar organisasi mereka, akan dicap sebagai kelompok ekstrim kanan. Kadang-kadang �cap� ini menjadi sangat menakutkan karena ada pembatasan hak dalam kehidupan apabila nama Pancasila tidak masuk dalam AD ART-nya. Padahal banyak juga organisasi yang sangat mencolok mencantumkan Pancasila sebagai dasar organisasi, tapi perilakunya (mungkin) sama sekali tidak mencerminkan seorang yg �Pancasilais�, tapi lebih dekat dengan premanisme.

Distorsi Dalam Menterjemahkan Pancasila

1. Ada sebuah fenomena yang menarik bahwa Pancasila berubah dari sesuatu nilai-nilai immaterial menjadi lebih bernafas materiil (sebuah benda keramat yang dicoba untuk dijadikan �jimat�).
2. Pancasila hanyalah sebuah jargon yg selalu menonjolkan ingatan kolektif akan pentingnya sebuah perjuangan masa lalu, yang tidak cocok untuk diterapkan saat ini. Apalagi terjadi penyimpangan ke arah cerita seru tentang �kepahlawanan� tokoh yang sekarang paling dibenci rakyat.
3. Pancasila menjadi sebuah �hantu� yang menakutkan karena dikaitkan dengan sebuah kungkungan akan kebebasan atau berdemokrasi.
4. Pancasila dijadikan dasar untuk penyeragaman berbagai hal yang seharusnya berbeda. Pemaksaan diri untuk selalu konform dianggap mengancam fanatisme akan daerah atau primordialialisme

Peran Pancasila dalam Era Reformasi ?

Sebagai sebuah nilai maka mau tidak mau akan sangat tergantung pada orang-orang yang berada pada suatu system. Orang-orang yang berubah akan menggerakkan perubahan system yang ujung2nya juga akan merubah nilai-nilai itu sendiri. Sebuah penelitian tentang pengaruh modernisasi di Singapura oleh Chen, ditemukan terjadinya perubahan besar dalam struktur dan nilai-nilai hidup di masyarakat, terjadi kerenggangan kekerabatan, hubungan antara manusia yang tidak lagi intens, dan aspirasi yang mengarah pada hal-hal yang materiil.

Begitu juga penelitian oleh seorang ahli Psikologi Sosial, yakni Sherif yang menemukan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok orang, dimulai dibangun oleh orang-orang yang berada di dalam kelompoknya, yang kemudian akan terjadi perubahan nilai seiiring terjadinya interaksi sosial dengan kelompok yang lain. Hal ini didukung pula oleg pendapat seorang ahli psikologi lintas budaya, Berry yang mengungkapkan bahwa ada sebuah hubungan yang berkelanjutan antara kondisi ekologis dan sosio politis dengan perilaku seseorang.

Hal tsb berarti ada kemungkinan pemahaman yang kurang baik akan Pancasila, proses �pemaksaan� untuk mempelajarinya, ditambah dengan perubahan yang sangat besar dalam bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, maka mau tidak mau juga akan menyambar �kesaktian� dari Pancasila dalam menjawab semua problem kehidupan di era reformasi ini. Apalagi banyak gerakan sosial yang menyimpan dendam terhadap penguasa (yang dianggap stabilisator ideology Pancasila) dari lembaga-lembaga kekuasaan yang bertugas mempertahankan kemapanan atau tatanan politik lama (the established political order). Siapapun tidak akan bisa menyangkal kalau KKN menjadi sebuah tatanan atau nilai baru di seluruh antero Nusantara. Pejabat yang korup, rakyat yang mau saja mengikuti aturan / system yang salah, kontrol sosial yang semakin lemah, mau tidak mau akan menjadi sebuah budaya sendiri, sehingga ada sebuah pemikiran saya �jangan-jangan kalau tidak seperti kita yang dianggap tidak waras�.

Lebih dari itu gerakan menuju ke arah tatanan demokrasi mengarah pada fenomena �democrazy�, gerakan yang hanya menyulutkan �freedom� tapi tidak menengahkan �justice�. Belum lagi hentakan budaya asing yang menggerojok kita setiap detik, lewat berbagai media komunikasi canggih, globalisasi yang tidak lagi memberi ruang pembatas antara negara satu dengan negara lain antara orang yang satu dengan orang yang lain, semakin menunjukkan betapa beratnya kondisi yang terjadi di negeri ini.

Kondisi carut marut, disintegrasi bangsa yang mengarah pada perpecahan, kerusuhan dan konflik di antara kelompok budaya mau tidak mau akan mengarahkan pada pertanyaan yang mendasar �Sudah tidak saktikah Pancasila?� atau pertanyaan yang lebih ekstrim �Perlukah Pancasila?�.

Revitalisasi Pancasila

1. Adanya kesenjangan rentang angkatan atau generasi bisa menimbulkan pemahaman yang berbeda akan arti penting Pancasila. Sementara generasi tengah tidak bisa diandalkan untuk menjadi mediator penghayatan Pancasila. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk berbicara tentang hakekat Pancasila tanpa mengikutsertakan orang-orang di generasi saat lahirnya Pancasila sebagai sebuah azas yang sifatnya formal.
2. Pemahaman secara dogmatis sudah tidak cocok lagi di era reformasi saat ini, artinya perlu ada pula perbedaan pendapat, diskusi yang panjang di antara seluruh elemen bangsa untuk menafsirkan kembali secara utuh akan Pancasila.
3. Perlu dipikirkan suatu cara yang terkesan lebih �edutainment� dalam mengajarkan Pancasila. Proses belajar mengajar yang monoton tidak bisa diharapkan akan mendapatkan hasil yang optimal.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment