Narapidana Juga Manusia (Biasa)

 by Andik Matulessy

�According to some criminologist, the stigmazitation resulting from police apprehension, arrest, and detention actually reinforces deviant behavior� Richard A Cloward & Lloyd E. Ohlin

Saat mendengar kata tahanan atau narapidana, kebanyakan orang akan mendeskripsikan di dalam benaknya seseorang yang menakutkan, berperilaku buruk, kejam, bengis, tidak punya rasa kasihan, penuh dosa, akan selalu berbuat kejahatan lagi dan berbagai atribut negatif lain. Anggapan itu menjadi sebuah realitas social yang sulit untuk dihilangkan dalam waktu sekejap. Ada semacam prototype yang terpateri pada pikiran masyarakat luas bahwa sekali orang berbuat salah maka akan di�cap� selalu salah dan tidak termaafkan seumur hidupnya. Masyarakat menjadi juru pengadil yang lebih menakutkan daripada hakim atau jaksa. Cap dari masyarakat itu yang menjadikan para mantan tahanan tidak nyaman lagi untuk hidup di lingkungan asalnya. Kondisi ini menjadi momok yang menakutkan dan beban yang berat bagi mantan narapidana yang setiap hari berharap bisa menghirup udara bebas di lingkungan di luar penjara / rutan. Mereka merasa lebih berharga berada dengan sesama teman di dalam lingkungan rutan. Setiap langkah menuju rumah seakan membawa beban berat yang semakin bertambah, setiap orang yang dikenal akan menjauhi, tatapan mata curiga menghampirinya, kalaupun ada yang menyapa hanya karena rasa kasihan, bahkan ada mantan narapidana yang tidak mudah untuk diterima oleh anak-anaknya yang menganggap ayah / ibunya membuat malu di hadapan teman-teman sekolahnya. Persoalan inilah yang menyebabkan mantan penghuni rutan menjadi bimbang, mereka bisa saja kemudian �bersahabat� lagi dengan teman se�profesi� dan menyurutkan langkah untuk hidup kembali di lingkungan yang normal.

Padahal mereka sudah mengalami banyak persoalan sejak mulai persidangan yang melelahkan sampai dengan paksaan untuk beradaptasi dengan lingkungan �baru� yang belum tentu bersahabat. Penelitian Harris (dalam Pollock,2002) mengungkapkan 9 permasalahan psikologis yang bisa terjadi pada orang-orang yang dipenjara, antara lain : kebingungan (disorientation), berkurangnya aktivitas seksual (lack of heterosexual activity), berkurangnya dukungan social (lack of social support), hilangnya harga diri (loss of self esteem), hilangnya kemandirian (loss of autonomy), hilangnya tanggung jawab (loss of responbility), kurangnya privasi (lack of privacy), berkurangnya rasa aman (lack of security), dan berkurangnya kepemilikan (lack of property). Sebagai manusia yang memiliki �ruang� untuk hidup dengan penuh kebebasan tentunya hukuman penjara menjadikan mereka tidak merasa lagi menjadi �benar-benar manusia�. Apalagi mereka yang tidak pernah merasakan kesusahan dalam kesehariannya, mereka yang terbiasa dengan peran atau status sosial penting di masyarakat. Mereka semua harus hidup dengan segala keterbatasan, aturan dan norma yang tertulis dan tidak tertulis di tempat yang baru. Oleh karena itu berbagai persoalan psikologis bisa terjadi pada para terpidana, mulai dari rasa shock sampai dengan depresi, bila tidak ditangani secara serius.


Berbagai persoalan yang terjadi pada para mantan narapidana ini tidak mudah begitu saja ditangani oleh pihak Rutan atau Lembaga Permasyarakatan. Terlalu lemah pengamanan bisa menyebabkan narapidana kabur, namun terlalu ketat akan dimaknai sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan hidup yang layak. Persoalan ini akan semakin bertambah runyam bila melihat ruang bagi narapidana yang tidak memperhitungkan kepadatan (density), satu ruang tahanan diisi lebih dari 5 orang. Padahal situasi yang padat dan crowded akan meningkatkan agresivitas yang mengarah pada violence atau kekerasan antara sesama tahanan. Apalagi sebagian besar Rutan atau LP tidak memiliki jumlah petugas yang memadai sesuai dengan kuantitas penghuninya, sehingga akan menyulitkan dalam proses pengawasan pada persoalan masing-masing narapidana. Keterbatasan petugas dibandingkan penghuninya akan menyulitkan untuk mengendalikan proses interaksi negative dari para narapidana, seperti konflik antar penghuni, relasi seksual yang negative (homoseksual / lesbian), dsb. Memang sudah banyak yang disiapkan oleh Rutan / LP untuk menyiapkan mantan narapidana untuk bisa diserap sebagai tenaga kerja di lingkungan tempat asalnya nanti,misalnya memberikan pelatihan kerja. Namun demikian proses sosialisasi tetap merupakan poin penting yang perlu dilakukan terutama pendampingan yang memadai dari konselor yang memang benar-benar disiapkan agar para mantan narapidana bisa hidup normal dan diterima oleh lingkungan sekitarnya.

Kondisi di dalam Rutan yang serba terbatas tersebut memang bisa memberikan efek jera bagi para penghuninya. Namun demikian di sisi lain akan memberi dampak psikologis yang berat pula bagi mereka. Para penghuni tentu berharap setelah mereka keluar dari kawah Candradimuka tersebut akan mendapatkan kebebasan dan merasakan kembali sebagai manusia yang penuh dengan harap akan diterima di lingkungannya kembali. Namun demikian tidak semua harapan akan sesuai dengan realitas yang diinginkan. Para mantan narapidana lebih banyak mendapatkan reaksi negative dari lingkungan sekitarnya. Padahal dukungan social dari teman dan keluarga mutlak dibutuhkan mereka. Empati dan memberi dukungan emosional, arahan untuk tidak putus asa, penerimaan yang menyenangkan, dukungan informasi tentang lahan pekerjaan, dukungan materi, tidak memandang dengan rasa kasihan, memberikan peran yang sama di dalam lingkungan tempat tinggal, akan menjadi obat mujarab yang bisa menyembuhkan para mantan narapidana untuk berperilaku normal seperti masyarakat pada umumnya, yang patuh dan taat akan norma yang melingkupinya.

Namun demikian penerimaan dan dukungan dari masyarakat tidak berguna bila narapidana tidak ada niat untuk berubah. Kehidupan di penjara seharusnya bisa menjadi semacam kontemplasi atau penyadaran para penghuninya tentang pentingnya sebuah kebebasan, pentingnya menghormati norma-norma hukum yang ada di masyarakat, pentingnya berperilaku sehat dan mengendalikan emosi, begitu berharganya keluarga dan orang-orang yang berperan dalam kesehariannya, begitu nikmatnya menatap kehidupan di masa depan. Pikiran dan niat positif tersebut akan mengarahkan seseorang untuk berperilaku positif dalam keseharian nantinya. Image negative, cap / stigma negatif dari masyarakat akan menghilang dengan sendirinya seiring perubahan pikiran, sikap dan perilaku menuju kebaikan. Oleh karena itu kesiapan psikologis untuk bisa �fight� dalam kehidupan sebenarnya bagi para mantan narapidana harus disiapkan sejak dini agar penjara tidak lagi dipenuhi oleh orang-orang yang sebenarnya tidak ingin berbuat jahat, tapi situasi dan kesempatan yang menekan mereka untuk bertindak kejahatan. Mantan narapidana �hanyalah manusia biasa, yang tak pernah lepas dari khilaf, dan mencoba merubah segalanya, mungkin ada kesempatan� seperti lirik lagu grup band Radja.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment