Mengenal Lebih Dekat Seno Gumira Ajidarma, Penulis Cerbung Naga Jawa

Demi Akurasi Cerita, Riset ke Borobudur, Tiongkok, dan Jalur Sutra 

Mulai besok, Jawa Pos (grup Radar Lampung) menurunkan cerbung silat: Naga Jawa di Negeri Atap Langit. Meskipun fiksi, sastrawan Seno Gumira Ajidarma menulisnya dengan standar ketat layaknya jurnal ilmiah. Riset ketat dilakukan di setiap detail cerita. Mulai di kota pelosok Jawa hingga ke Tiongkok dan India.
Laporan Ilham Wancoko, JAKARTA

SUARA khas keyboard diketik terdengar nyaring di lantai 2 sebuah kedai kopi di kawasan Bintaro, Tangerang, Banten, Selasa (24/6). Suara ketikan itu unik. Tidak terdengar cepat, tapi stabil, datar, dan jarang berhenti. Ya, sore itu pengarang Seno Gumira Ajidarma sedang suntuk menulis di laptop tipisnya.
timur-angin.com

Cara mengetiknya tak biasa, tidak dengan sepuluh jari layaknya orang mengetik. Dia hanya menggunakan jari tengah tangan kanannya untuk menjamah semua huruf di keyboard dan jari manis tangan kirinya untuk menekan tombol shift atau caps lock. "Ya, seperti inilah kalau dulunya kebiasaan ngetik di mesin ketik lawas yang berat. Sampai zaman berubah, pakai laptop tetap tak berubah, sudah kebiasaan," ungkap Seno menjelaskan cara mengetiknya yang khas itu.

Rupanya, pria yang lahir di Boston pada 19 Juni 1958 itu sedang suntuk menulis karya terbarunya, cerita bersambung (cerbung) silat Naga Jawa di Negeri Atap Langit. Cerbung ini bukan cerita fiksi biasa, tapi berlatar fakta sejarah yang diambil dari berbagai riset ilmiah kitab-kitab kuno abad ke-8 dan 9 di tanah Jawa. "Dua abad itu merupakan ketika Candi Borobudur dibangun," tutur putra fisikawan dan pakar energi surya di Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof. M.S.A. Sastroamidjojo itu.

Cerbung silat Naga Jawa mengisahkan tokoh pendekar tanpa nama yang melanglang buana. Salah satu tempat yang disinggahi si tokoh adalah sebuah daerah di Tiongkok yang pada abad VIII-IX disebut sebagai Kota Chang’an.

Untuk memenuhi hasrat menulisnya, Seno yang memiliki gelar akademis magister ilmu filsafat dan doktor ilmu sastra dari Universitas Indonesia melakukan berbagai riset. Karena sang tokoh dari Pulau Jawa, sastrawan yang memelihara rambutnya hingga sebahu itu mengunjungi Museum Samudra Raksa di kawasan Candi Borobudur.

Seno datang khusus untuk mempelajari bentuk perahu Samudra Raksa, perahu yang dibangun berdasar relief kapal yang terdapat di Candi Borobudur. "Saya menulis tidak hanya dengan imajinasi, tapi juga dengan fakta dan data. Karena fiksi itu sebenarnya juga fakta, bagian dari aktivitas manusia,"  tutur penerima sederet penghargaan sastra, di antaranya Sea Write Awards (1987), Dinny O’Hearn Prize for Literary (1997), dan Khatulistiwa Literary Awards (2004 dan 2005) itu.

Pada 2012, suami Ikke Susilowati itu juga mendapatkan Achmad Bakrie Awards. Namun, dia menolak menerimanya. Seno beralasan agar penghargaan yang diperolehnya sebaiknya diberikan kepada orang lain yang dianggap lebih layak.

Di Museum Samudra Raksa, Seno tidak hanya mengamati dengan cermat perahu layar bercadik ganda dengan dua tiang layar. Dia juga masuk ke kapal yang dibangun Assad Abdullah Al Madani itu. Keahliannya sebagai fotografer membuat dia memotret setiap lekuk-lekuk dan sudut-sudut kapal. Tangannya juga meraba kayu tiang-tiang kapal. Geladak kapal pun tak lepas dari tangan jahilnya. "Demi mendapatkan data, saya juga membaca ribuan buku yang membahas perahu itu. Karakter kapal ini harus didapatkan. Karena dalam cerita, pendekar tanpa nama itu berlayar ke Tiongkok dengan kapal tersebut," ucap Seno yang pernah membidani lahirnya majalah bergambar Jakarta-Jakarta.

Upayanya mendapatkan karakter perahu itu untuk melogikakan alur cerita cerbung terbentur masalah. Bagaimana mungkin pendekar tanpa nama berlayar ke Tiongkok dengan kapal yang ternyata memang tidak ada toiletnya? "Masalah ini muncul ketika itu. Perahu itu tanpa toilet. Berlayar dengan perahu berhari-hari, mandi dan buang airnya di mana tanpa toilet? Masalah ini mau tidak mau harus diatasi dan masuk akal," ujar pengarang yang sering disebut bergaya surealistis itu. Gaya yang penuh dengan kritik sosial dan politik.

Tergoda oleh pertanyaan dan logika itu, Seno tak mau tanggung dalam mencari data. Pengarang yang menulis sejak SMP itu memutuskan untuk berangkat ke Xi’an, kota yang terdapat bekas ibu kota masa Dinasti Tang Chang’an, awal Desember tahun lalu. "Saya ke sana untuk melengkapi data cerbung," ujar Seno.

Begitu tiba di Negeri Tirai Bambu itu, Seno langsung menuju Xi’an. Cuaca dingin ekstrem dengan suhu minus 15 derajat Celsius menyambut kedatangannya. "Udaranya dingin menusuk tulang," ungkap ayah fotografer Timur Angin itu.

Tentu saja, Seno tidak ingin hanya meringkuk di tempat penginapan. Menguatkan asa, dia melawan cuaca dingin bak di kutub utara. Dia menyusuri jalanan kota. Di tengah jalanan kota ternyata terdapat banyak bangunan bekas kota tua Chang’an. Setidaknya, hasratnya sedikit terpenuhi. Dia menyentuh tembok-tembok itu.

Dengan kepayahan, Seno mencoba mengambil gambar dengan kameranya. Dalam cuaca tak bersahabat itu, saat memotret, kulit tangan tak terasa mulai retak-retak. "Dinginnya memuncak bikin kulit kayak retak-retak. Memotret biasa itu membutuhkan kerja keras," kenangnya.

Dingin yang menusuk tulang membuatnya memutar otak sepanjang perjalanan, mau tak mau badannya harus dihangatkan. Dia ingat kalau membawa heater, pemanas air. Tanpa basa-basi, heater itu dinyalakan. Heater itu lantas berubah fungsi menjadi penghangat tubuh. "Kedua telapak tangan saya dekatkan dan lumayan. Hangatnya terasa. Ini saya lakukan kalau dingin sudah tak tertahankan saat berjalan," katanya.

Lain hari di kota yang sama, Seno mendengar bahwa ada miniatur Kota Chang’an. Akhirnya, dia berupaya mencari lokasi itu. Seno berusaha mencari tahu dari warga sekitar. Sayangnya, tidak ada yang bisa berbahasa Inggris. Tak kehabisan akal, Seno mengeluarkan uang Yuan dari sakunya dan menuliskan Kota Chang’an Miniature pada secarik kertas. "Ya, bisanya bahasa gerak dan didorong pakai uang. Akhirnya ketemu," ucapnya.

Selang beberapa jam kemudian, Seno akhirnya menemukan bangunan miniatur Kota Chang’an dengan skala luar biasa. Dia girang bukan kepalang. Semua sudut miniatur itu direkam dalam kameranya. "Miniatur kota ini besar hingga ratusan meter," ungkapnya.

Seno menjelaskan, pada abad ke-8 dan 9, Chang’an sudah kosmopolitan. Dengan penduduk sekitar 1 juta orang. "Benar-benar kota maju untuk abad itu," ujar Seno yang sudah membuahkan ratusan cerpen, 12 antologi cerpen, 8 novel, 3 komik, dan macam-macam karya lainnya.

Sebelum pulang ke Indonesia, Seno juga menyempatkan diri mengunjungi Jalur Sutra. Jalur perjalanan darat yang legendaris itu dirasa penting bagi Seno. Sebab, cerbung yang digarapnya juga mengambil setting di sana. "Jalur Sutra salah satu setting penting. Saya sempat kunjungi beberapa tempat. Ada patung Kitaro besar di sana," tuturnya.

Pengumpulan data tidak selesai di situ. Setelah melanjutkan menulis cerbung itu, masalah lain muncul. Dalam adegan di cerbung terdapat cerita dengan latar belakang sebuah kedai. Nah, konsep kedai ini membuat Seno galau bukan kepalang. "Hanya karena kedai, saya kebingungan," ungkap Seno yang menjadi seniman karena terinspirasi penulis puisi dan dramawan berjuluk Si Burung Merak, Rendra, yang santai, bisa bicara, hura-hura, nyentrik, dan rambut boleh gondrong.

Pertanyaan yang muncul dalam benaknya, apakah pada abad ke-8 dan 9 di Pulau Jawa ketika itu terdapat kedai? Hasratnya memenuhi kebutuhan logika cerita membuatnya mencoba berbagai cara. Dia bertanya kepada sejumlah ahli sejarah terkait keberadaan kedai pada abad Kerajaan Wangsa Syailendra itu.

 Ada dua ahli sejarah yang dia temui: Profesor Edi Sedyawati (arkeolog Jawa Kuno) dan Iwan Fridolin (ahli kebudayaan Tiongkok Kuno). Dua ahli sejarah itu mendengar curhat Seno. "Saya tanya keduanya soal kedai, apa sudah ada saat itu?" ucapnya.

Seno berharap keduanya bisa memberikan secercah harapan atas keingintahuannya. Minimal ada tanda yang mengarahkan bahwa kedai sudah ada pada 1.300 tahun yang lalu. "Ternyata jawabannya jauh dari harapan, masih meragukan dan tidak pasti," ujarnya.

Kehampaan itu membuat keberaniannya justru muncul. Dia tabrak semua halangan logika itu dan tetap memasukkan konsep kedai dalam alur cerita. "Yah, harus berani untuk ambil keputusan. Pun tidak ada bukti kuat yang menandakan kedai tidak ada saat abad ke-8 hingga 9 dan sebaliknya. Tak ada bukti yang mengarahkan keberadaan kedai," tuturnya.

Dialektika terus terjadi dalam pergulatannya memintal cerita. Kali ini masalah terjadi dalam adegan pembangunan Borobudur yang terdapat penggusuran lahan warga. Protes warga terjadi. Pembangunan candi mau tak mau terpengaruh. Dalam adegan itu, Seno berupaya menyelipkan bunga cerita pergolakan proses pembangunan candi yang mengombinasikan gaya Hindu-Buddha tersebut. "Namun, alur cerita ini harus tetap berlogika," ujarnya.

Seno kembali mencoba mencari petuah kepada Profesor Edi. Saat membaca adegan itu, Edi langsung berceletuk. "Ini kok teori kelas sekali?" ujarnya kepada Seno. Dia terbelalak atas komentar arkeolog Jawa Kuno itu.

Edi justru memberikan opsi lain untuk cerita itu. Warga justru bisa jadi merasa terhormat karena lahannya akan digunakan untuk membangun candi, akhirnya menyerahkan lahannya secara sukarela tanpa perlu diganti. "Opsi ini saya terima, tapi saya lupa mengganti adegannya atau tidak," katanya, lantas tertawa.

Maklum, Naga Jawa ini terbilang lanjutan dari dua buku cerita Naga Bumi I setebal 900 halaman dan Naga Bumi II (700 halaman). "Kalau dibilang cerbung, ternyata ini panjang. Dibilang novel, ini novel yang juga sangat tebal," celetuknya.

 Proses penulisan yang begitu pelik dengan data yang akurat semacam karya jurnalistik membuat Seno memiliki karakter yang dominan dalam dunia sastra Indonesia. Berbeda dengan Pramoedya Ananta Toer yang menjadi pionir novel fiksi sejarah, Seno membawa gaya penulisan jurnalisme dengan balutan fiksi. "Saya ingin menabrak tembok perbedaan antara fiksi dan fakta ini," tegasnya. (jpnn/p2/c2/fik)

http://www.radarlampung.co.id/read/radar/berita-foto/70786-mengenal-lebih-dekat-seno-gumira-ajidarma-penulis-cerbung-naga-jawa
Previous
Next Post »
Thanks for your comment