Budaya Malu dan Pemimpin yang Ideal di Saat Krisis

Andik Matulessy

�There are no great men. There are only great chalenges which ordinary men are forced by circumtances to meet � (Admiral Halsey)



PENDAHULUAN

Ada sebuah pertanyaan menarik yg ditujukan penulis pada saat berkunjung di sebuah negara di Eropa dari seorang teman, �kenapa negaramu yang kaya dengan sumber daya alam, sumber daya manusia yang banyak masih tetap miskin dan yang paling aneh koq utangnya banyak ?�. Walaupun pertanyaan itu tidak membuat kaget tapi masih terus berputar di benak penulis sampai sekarang. Sampai sampai masalah ini menjadi semakin berat saat sebuah harian memberitakan negara tetangga Indonesia yakni Thailand akan menolak bantuan / utang dari negara lain dalam bentuk G to G (Government to Government); belum lagi mengingat Malaysia yang dulunya mengimpor Guru di Indonesia, sekarang menjadi salah satu Macan Asia ataupun Singapura yang memiliki SDA dan SDM yang minim tapi menjadi negara yang diperhitungkan masyarakat Internasional.

Banyak ahli yang mengungkapkan bahwa persoalan krisis di Indonesia sekarang ini bermuara pada pola pembangunan ekonomi yg sangat sentralistik dan mengedepankan kelompok �pengusaha besar� daripada pengusaha kecil menengah. Mereka memanfaatkan keterdekatan dengan akses birokrasi untuk mendapatkan privilege dalam berbagai bidang kehidupan. Walaupun sudah berkali-kali terjadi pergantian kepemimpinan dengan berbagai pola pembangunan yang berbeda, tetapi tidak bisa menyelesaikan berbagai krisis dengan tepat. Bahkan banyak dampak yang terjadi pada era reformasi ini antara lain :

a. Maraknya demonstrasi pada hampir semua lapisan masyarakat. Demonstrasi yang sebelumnya menjadi trade-mark bagi buruh dan mahasiswa, ternyata menjadi trend bagi karyawan, siswa SD-SMP-SMA, karang taruna, aktivis politik, masyarakat desa dan guru yang sebelumnya �takut� bersuara ternyata mulai berani bergolak. Konsekuensi langsung dari adanya unjuk rasa adalah terhentinya kegiatan bisnis, kemungkinan bentrokan fisik, provokasi kelompok yang tidak bertanggung jawab, serta akan berakibat munculnya kelompok kontra demo.
b. Maraknya kerusuhan yang bernuansakan etnis dan SARA. Kerusuhan yang terjadi biasanya dimulai dari konflik-konflik yang sederhana, namun dihembuskan dalam bahasa SARA, sehingga bisa meningkatkan ketegangan sosial antar etnis atau agama.
c. Maraknya keinginan disintegrasi. Problem keinginan disintegrasi atau keluar dari negara Kesatuan Republik Indonesia dari berbagai daerah tersebut merupakan suatu hal yang logis, karena merasa tidak mendapat perlakuan adil dari Pemerintah Pusat dalam pembagian hasil pendapatan daerah.
d. Demokratisasi politik atau kebebasan berdemokrasi. Demokrasi bagi sebagian besar masyarakat diterjemahkan sebagai keinginan untuk bebas berpartisipasi di bidang politik, bebas mendirikan partai politik, memilih partai politik, serta merevisi aturan-aturan yang ada pada sistem politik. Tentunya maraknya partai politik dengan berbagai macam kepentingan akan menyebabkan ketidakseimbangan dari sistem yang ada, sehingga dimungkinkan munculnya pertentangan antar partai politik yang ada, yang nampak dari ketegangan dalam �kampanye jalanan�.
e. Ketidakpercayaan & perlawanan terhadap sistem yang ada. Berbagai perlawanan terhadap sistem tersebut akhir-akhir ini banyak sekali muncul di permukaan. Berawal dari demonstrasi yang mempertanyakan kinerja lembaga tertinggi negara MPR/DPR; ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga eksekutif dari daerah sampai dengan pusat yang dianggap penuh dengan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; perlawanan terhadap simbol-simbol negara, baik sipil maupun militer; serta ketidakpercayaan pada lembaga peradilan dari yang rendah sampai dengan Mahkamah Agung, sehingga memunculkan aspirasi �pengadilan jalanan�.

BUDAYA MALU PARA PEMIMPIN

Mencermati dari berbagai fenomena yang ada tsb, nampak sekali bahwa political trust menjadi sebuah penyebab yang lebih banyak berperan mengganggu perkembangan negara dibandingkan hanya mengupas persoalan ekonomi. Kepercayaan pada sistem politik, termasuk kepercayaan terhadap pemimpin dan kepemimpinan menjadi hal yang sangat menentukan arah kemajuan negara ini. Pada saat pemimpin tidak lagi dipercaya, tentunya sulit bagi seseorang untuk mengikuti aturan yang dibuat atau menghormati kebijakan yang dikeluarkan. Mereka tidak malu untuk tetap berkuasa walaupun banyak orang yang menyangsikan, tidak malu untuk melanggar sumpah sebagai pejabat negara yang seharusnya berfikir untuk kepentingan rakyat, tidak malu untuk tetap menduduki jabatan walaupun sudah diberi vonis bersalah, tidak malu untuk tetap berkuasa walaupun tidak menghasilkan perubahan dalam kepemimpinannya, tidak malu2 untuk meminta uang pada saat ada orang lain yang mengalami kesulitan, dsb.

Nampaknya �budaya malu� yang menjadi screening dan nilai untuk tidak melakukan perbuatan negatif mulai beringsut lenyap. Orang berlomba-lomba untuk �mempermalukan diri� atau �membuat malu�, bahkan melenyapkan rasa malu dalam dirinya. Inilah salah satu hal yang membedakan dengan budaya orang Jepang yang akan turun dari jabatannya kalau mereka gagal, bahkan ada yang ber-hara kiri untuk menutupi rasa malu. Atau orang Madura yang memiliki filosopfi �lebih baik berputih tulang daripada berputih mata (malu)�, ataupun orang Jawa yang akan mengisolasi dirinya kalau mendapatkan aib dalam tindakannya.

Persoalannya adalah sampai seberapa jauh budaya malu ini menjadi sebuah patokan dasar seorang pemimpin dalam bersikap dan berperilaku sehari-hari. Padahal sebagai salah satu bentuk nilai, malu akan menjauhkan kita untuk bertindak patologis ke masyarakat luas. Selain itu lebih jauh lagi, malu akan menjadi �rem� untuk tidak bertindak negatif; merekatkan solidaritas dengan orang lain; kontrol diri bahwa setiap tindakan harus pula mempertimbangkan keberadaan dan dampaknya bagi orang lain; mengarahkan kehati-hatian dalam mengambil keputusan; menjaga agar tidak berbuat semaunya sendiri karena banyak orang yang akan melihat, memantau dan menilai; membuat seseorang tidak lagi mempertimbangkan sesuatu berdasarkan egonya; menjadi cermin bagi dirinya untuk selalu melihat segala sesuatu dari sisi orang lain, dsb.

Namun demikian perkembangan kehidupan membuat nilai-nilai pun akan berubah, begitu juga nilai �malu�pun agar bergeser.Sebagai sebuah nilai maka mau tidak mau akan sangat tergantung pada orang-orang yang berada pada suatu system. Orang-orang yang berubah akan menggerakkan perubahan system yang ujung2nya juga akan merubah nilai-nilai itu sendiri. Sebuah penelitian tentang pengaruh modernisasi di Singapura oleh Chen, ditemukan terjadinya perubahan besar dalam struktur dan nilai-nilai hidup di masyarakat, terjadi kerenggangan kekerabatan, hubungan antara manusia yang tidak lagi intens, dan aspirasi yang mengarah pada hal-hal yang materiil.

Begitu juga penelitian oleh seorang ahli Psikologi Sosial, yakni Sherif yang menemukan bahwa nilai-nilai yang dianut oleh sekelompok orang, dimulai dibangun oleh orang-orang yang berada di dalam kelompoknya, yang kemudian akan terjadi perubahan nilai seiiring terjadinya interaksi sosial dengan kelompok yang lain. Hal ini didukung pula oleg pendapat seorang ahli psikologi lintas budaya, Berry yang mengungkapkan bahwa ada sebuah hubungan yang berkelanjutan antara kondisi ekologis dan sosio politis dengan perilaku seseorang.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment