Menyoal Pemilihan Walikota Surabaya

Andik Matulessy

Diberikan dalam sosialisasi Pilkada Surabaya, 21 April 2004


Pemilihan kepala daerah secara langsung telah diberlakukan sebagai konsekuensi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden yang telah dilangsungkan pada tahun 2004 kemaren. Persoalan pemilihan Bupati atau Walikota pada saat Pilkada tentunya lebih sederhana dibandingkan dengan pemilihan umum kemaren. Namun demikian hal �baru� yang diterima oleh masyarakat saat ini tentunya akan menimbulkan kebingungan masyarakat pemilih dan persoalan yang terkait dengan teknis pelaksanaan kegiatan Pilkada ini. Persoalan kebingungan masyarakat akan mengarahkan masyarakat untuk memilih tanpa pemikiran yang rasional dan teliti terhadap para calon kepala daerah, atau yang lebih ekstrim lagi tidak mau mengikuti Pilkada karena merasa tidak ada ahal positif yang didapatkan nantinya. Sementara itu persoalan teknis pelaksanaan di lapangan yang bisa amburadul juga bisa menimbulkan ketidakpuasan masyarakat akan hasil akhir Pilkada.

Sebagaimana diketahui pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan kepala daerah yang memiliki kekuasaan yang kuat dalam menjalankan pemerintahan, yang tidak mudah untuk diturunkan oleh legislatif, karena mereka adalah representasi dari masyarakat daerah tersebut. Waktu pelaksanaan yang terbatas membuat sosialisasipun menjadi tidak maksimal, sehingga akan mengganggu pelaksanaan Pilkada. Oleh karena itu sosialisasi oleh berbagai elemen masyarakat seperti LSM, organisasi kemasyarakatan, Perguruan Tinggi, Organisasi kemahasiswaan, dsb sangatlah penting agar mengurangi ketimpangan informasi utamanya pada masyarakat menengah ke bawah.

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam sosialisasi pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya antara lain :

1. Gunakan Hak Pilih : Hak untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota merupakan kewajiban dan kesempatan untuk berpartisipasi dalam kehidupan bangsa dan negara. Artinya ini merupakan kesempatan yang baik pula untuk merubah kondisi suatu daerah. Satu suara menjadi a sangat berarti dalam hasil pemilihan. Pada saat kita tidak menggunakan kesempatan itu, maka hilanglah kesempatan untuk membuat perubahan ke arah yang lebih baik. Tidak menggunakan kesempatan memilih walaupun ini merupakan sebuah hak dalam era demokrasi, saya artikan sebagai sebuah ketidakmampuan untuk bertanggung jawab terhadap kondisi yang buruk.
2. Figur Kepala Daerah : saya sebenarnya lebih menyukai calon independen dari walikota dan wakil walikota daripada muncul dari partai. Hal tersebut karena calon dari Partai kental sekali dengan isu money politic, lebih menegaskan pada fanatisme kepartaian dan kurang mempertimbangkan kepentingan publik. Selain itu kondisi kepartaian yang sekarang ini penuh dengan konflik kepentingan antar anggota partai, sehingga banyak perpecahan terjadi di kalangan partai , sehingga calon dari partai kurang bisa dijadikan pedoman untuk menetapkan pilihan. Namun demikian regulasi atau aturan di negara tidak memungkinkan calon didapatkan dari luar partai politik. Oleh karena itu mau tidak mau kita harus aktif mencari kelebihan dan kekurangan, kemampuan, kepemimpinan, dan kemampuan lain yang tidak mungkin kita dapatkan tanpa mengakses informasi dari berbagai media atau hasil kerjanya selama ini.
3. Pengawasan : Proses pemilihan yang mencakup wilayah yang luas lebih dari 30 kecamatan, tentunya akan menimbulkan ekses kurangnya kontrol dalam pelaksanaan pemilihan, akan banyak terjadi penyelewengan penghitungan suara, kemungkinan adanya pemilih ganda, kartu pemilih yang didapatkan dengan cara illegal dsb. Oleh karena itu pengawasan aktif masyarakat sangat diperlukan agar hasil pemilihan lebih objektif, jujur dan bisa diterima oleh semua pihak. Memang sebagian besar masyarakat tidak begitu peduli dengan proses pemilihan sampai penghitungan seperti yang terjadi saat pemilu kemaren. Tapi kewajiban semua masyarakat untuk tetap menjunjung tinggi Pemilu yang transparan, jujur, rahasia, dan adil.
4. Kemampuan Menerima Hasil Pemilu : fase yang paling menegangkan adalah saat pengambilan keputusan hasil pemilihan diumumkan. Pasti akan banyak terjadi ketidakpuasan dari berbagai pihak akan hasil pemilihan tersebut. Ada kelompok yang merasa bahwa calon yang dipilihnya lebih baik dan lebih berhak untuk tampil sebagai pemenang dibandingkan calon yang lain. Begitu pula pandangan dari kelompok lain yang memiliki calon sendiri. Pada hal yang sensitif tersebut diselesaikan dengan menggunakan egoisme dan fanatisme kelompok maka akan sangat rentan dengan konflik. Oleh karena itu perlu ada kesiapan untuk menerima siapapun yang nantinya akan menjadi pemimpin daerah, tidak peduli dari kelompok manapun. Memang ada kemungkinan karena calon didapatkan dari parpol maka orang-orang yang berada di parpol tersebut yang akan mendapatkan hak-hak istimewa dan kesempatan mereguk kenikmatan. Namun demikian Walikota tidak seperti Presiden yang punya hak untuk mengangkat Pembantu (menteri). Walikota memiliki bawahan yang kesemuanya melewati jalur birokrasi, sehingga sulit bagi dirinya untuk teruis menerus berkompromi dengan parpol pendukungnya. Sebagai pemimpin politik walikota juga dituntut untuk menjadi pemimpin daerah yang bertanggung jawab untuk semua lapisan di daerah, apalagi masyarakat atau publik memiliki kesempatan untuk melakukan pengawasan terhadap keputusan kepala daerah.

Hal-hal tersebut di atas paling tidak bisa memberikan sedikit gambaran tentang bagaimana seharusnya kita bersikap menghadapi pemilihan walikota dan wakil walikota Surabaya yang hanya dalam hitungan hari. Semoga bermanfaat.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment