Menyoal Hak-Hak Seksual Perempuan (Sebuah Tinjauan Psikologi Sosial-Budaya)

Andik Matulessy

Disajikan dalam Rangka Seminar Hak-hak Seksual Perempuan dalam Perspektif Media, Psikologis dan Medis, UKM Fordimapelar, Untag Surabaya, 21 April 2005


�..bagi laki-laki maka persetubuhan adalah suatu peringanan dan kenikmatan. Ia kemudian pergi dan tidak ingat lagi akan perbuatannya. Tetapi buat perempuan merupakan satu hal paling mulia dan paling berarti dalam hidupnya, laksana satu perintah yang maha rahasia dan maha penting�.suatu perbuatan yang tak dapat dihapuskan, terpaksa ia selesaikan dulu dengan segala akibatnya sebelum ia bisa merdeka lagi �.(Edward Carpenter dalam Buku Sarinah karangan Ir. Soekarno)

Pendahuluan

Tulisan saya ini sebagian besar merupakan kajian saya setelah menemukan dan membaca buku dari proklamator negeri ini yakni Ir. Soekarno yang berjudul Sarinah. Memang di dalam tulisannya bung Karno, seorang pemuja wanita dan terkenal dengan banyaknya wanita yang disukai dan dinikahi, tidak hanya sekedar melihat wanita atau perempuan sebagai symbol seks, simbol penjajahan seks, symbol kesewenangan seksual. Namun dalam kajiannya ada pada suatu masa perempuan menjadi penguasa di dunia ini, yang tentunya memiliki kekuatan dalam masalah seksual, untuk berpoliandri, untuk mengambil keputusan melakukan hubungan seksual, dsb. Pada perkembangan selanjutnyanya ternyata perempuan tersubordinasi secara kultur dan social, sehingga mereka tidak mampu lagi mengambil keputusan untuk mengungkapkan hak-hak seksualnya. Kondisi ini terjadi mulai saat seorang perempuan berada pada masa anak-anak, gadis, menikah, sampai dengan menjanda dan pembagian waris, banyak stigma, pandangan dan konsekuensi negatif ditimpakan pada perempuan.

Sementara itu di kalangan perempuan sendiri masih sulit menerima perempuan lain yang berkonflik dengan suaminya tentang masalah seksual. Kecaman dan hujatan moral sering ditujukan pada wanita yang mengungkapkan kesedihannya di media umum, karena terpaksa harus melayani keinginan seksual �abnormal� suaminya. Begitu pula dengan wanita yang hamil karena ditinggal pasangannya dianggap �bodoh� dan �kotor� oleh masyarakat sekitarnya, dianggap perempuanlah yang menjadi biang keladi dari kehamilan itu, kalau si gadis tidak �endel� dan �kenes� tidak mungkin laki-laki akan menyetubuhinya. Hal ini menjadi semakin kontroversial, saat masyarakat seakan mengamini �persundalan� atau pelacuran yang dilakukan perempuan sekaligus menghujatnya. Begitu labilnya posisi perempuan sehingga tidak mudah bagi mereka untuk menempatkan hak-hak seksualitas sejajar dengan laki-laki. Posisi subordinate, tekanan struktural, dominasi local culture value, ketidakmampuan untuk memiliki bargaining position dalam pengambilan keputusan negara, dependensi ekonomi pada suami, tekanan nilai-nilai sosial yang berpihak pada laki-laki, singgungan media yang masih menempatkan perempuan pada posisi budak, semakin menguatkan cap bahwa laki-laki adalah penguasa di belahan dunia manapun.

Stereotype Seksual Pria dan Wanita

Dunia ini seakan terbelah menjadi dua bagian besar yakni pria dan wanita, dari tumbuhan, binatang sampai dengan manusia, walaupun istilah yang digunakan berbeda, yakni jantan dan betina. Walaupun nampak sangat berbeda satu sama lain namun keduanya tidak bisa dianggap terpisah satu dengan yang lain. Ibaratnya laki-laki dan perempuan bagaikan dua sayap seekor burung. Jika dua sayap itu sama-sama kuat maka burung tsb bisa terbang tinggi ke angkasa. Jika patah salah satu sayapnya maka sulit bagi burung itu untuk terbang (Baba O�Illah dalam Soekarno, 1963). Lebih lanjut diungkapkan oleh Olive Schreiner (Soekarno, 1963), dalam bukunya Drie dromen in de Woestijn, yang melambangkan laki-laki dan perempuan sebagai mahluk yang terikat satu sama lain oleh satu tali gaib, satu tali hidup yang begitu terikatnya sehingga yang satu tak dapat mendahului selangkahpun dari yang lain dan tidak dapat maju setapakpun dengan tidak membawa yang lain. Jadi keterpisahan, perbedaan, keragaman antara perempuan dan laki-laki bukan berarti yang satu lebih daripada yang lain, bukan berarti yang satu harus mendominasi yang lain, bukan berarti yang satu dianggap yang paling berperan di antara yang lain.

Di dalam realitas kehidupan terjadi proses saling mendominasi dalam hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan. Kadang laki-laki yang mendominasi kehidupan namun ada masa juga para perempuan yang menguasai dunia ini. Manusia gua jaman prasejarah menempatkan laki-laki pada pekerjaan yang dominan seperti mencari makan, berburu, mencari daerah �jajahan�, dsb, sedangkan wanita diharuskan menunggu anak, memasak daging buruan, dan pekerjaan lain yang menyita waktunya dan sulit baginya untuk beristirahat. Kondisi ini yang menyebabkan laki-laki secara fisik menjadi lebih kuat dibandingkan wanita, sedangkan wanita tumbuh menjadi orang-orang yang lemah secara fisik. Memang sempat ada suatu waktu, kultur matriarchal berperan penting dimana perempuan mendominasi kehidupan, sebagai contoh wanita Tuareg di Afrika, suku di Papua Timur, Sentral Asia, Cuba, Suku Wanita di Amazone, bangsa Pueblo, Tribuana Tungga Dewi di Majapahit, Cleopatra ratu Mesir, dsb. Pada saat itu wanita memiliki kekuasaan untuk mengatur pria dan akan membalas perlawanan dari laki-laki. Belum lagi dongeng tentang wanita yang berkuasa di lautan Kidul, Ratu Kidul, Nyi Ratu Kidul, Nyi Blorong, paling tidak dongeng tsb menandakan ada waktu dimana sebuah kerajaan yang pimpinannya didominasi oleh perempuan.Di beberapa daerah Indonesia, �sisa-sisa� kekuasaan perempuan masih nampak dari kebudayaan di daerah tsb, seperti misalnya : di kepulauan Mentawai,seorang �gadis� yang memiliki anak sebelum bersuami tidak dianggap negatif, dan laki-laki Mentawai tidak kecewa kalau perempuan yang dikawininya pertama kali sudah punya anak; di Pulau Enggano anak di luar atau di dalam hasil perkawinannya menjadi hak ibunya; di Borneo Barat, di Sintang dan di Belu serta Waihala, masih ada adat seorang suami diwajibkan tinggal di rumah istrinya; di Sulawesi Selatan ada adat mapuwo-awo yang menetapkan anak pertama dan ketiga menjadi hak ibunya sedang bapak hanya mendapat hak atas anak kedua dan keempat; di Sulawesi Selatan banyak anak perempuan yang menjadi raja; di Keo pulau Flores, para �gadis� selalu bergaul bebas dengan laki-laki, dan �gadis� yang hebat memuaskan hati laki-laki, maka merekalah yang nanti paling memiliki harapan besar untuk segera mendapatkan laki-laki (Soekarno, 1963).

Dominansi perempuan seakan hilang setelah kebudayaan berubah menjadi �milik� laki-laki. Kekuasaan tsb sampai pada penentuan istilah manusia yang di dalam bahasa Inggris disebut Man atau orang Perancis yang menamakan manusia sebagai Homme. Dalam kultur tidak banyak Dewi yang disembah, tapi sebagian besar adalah Dewa. Banyak Raja yang mengangkat istri dan selir yang jumlahnya banyak sekali, sebagai contoh raja Sulaiman diceritakan memiliki 700 istri dan 300 orang selir. Belum lagi kultur di sebagian besar suku di Indonesia yang mengidamkan anak laki-laki karena dianggap sebagai penerus keturunan, sehingga sangat dinanti-nantikan kehadirannya, seseorang akan dianggap �tidak lengkap� bila belum punya anak lelaki.

Jadi di dalam perkembangannya, kultur telah dibelokkan untuk memperluas jurang perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Seorang anak mulai dari kehamilan ibunya �diharapkan� untuk menjadi seorang pria atau perempuan. Sejak anak lahir, warna ruangan bayi, warna pakaian, warna sepatupun dibedakan antara laki-laki dan perempuan, perempuan dengan warna pink atau kuning sementara laki-laki dengan warna biru atau merah. Tidak hanya berhenti di situ, seorang anak laki-laki diharapkan menjadi anak yang �nakal�, haram untuk menangis, berpetualang, memiliki kekuatan fisik dengan berbagai latihan, berani menghadapi tantangan, mengikis rasa malu untuk mengungkapkan diri, bermain perang-perangan dsb. Sementara perempuan sah-sah saja untuk menangis, tidak boleh �terlalu� mengolah fisik, lebih banyak diam, mengerjakan tugas rumah tangga, bermain boneka, tidak boleh memanjat pohon, tidak boleh berkata keras, bahkan pada jaman Kartini, sejak usia 12 tahun perempuan harus melakukan adat pingitan selama 5 tahun, sebagai persiapan sebelum menikah. Pada saat itu perempuan harus mengolah perasaan, bertindak-tanduk sopan, agar tidak dipandang �liar� oleh lelaki calon suaminya.

Sigmund Freud, seorang ahli Psikoanalisis menempatkan perempuan pada masa phallic lebih tidak dominan daripada laki-laki. Pada fase ini anak mulai sadar akan dari genital atau alat kelamin satu-satunya yang disebut sebagai zakar (phallus), sehingga anak perempuan dianggap memiliki kecemburuan akan penis (penis envy), karena mereka menyadari tidak memiliki penis. Jadi anak perempuan berharap menjadi laki-laki yang dianggap lebih �normal� karena memiliki penis. Jadi nampak sekali perkembangan seksual yang diungkapkan Freudpun menjadi sangat memperhatikan �laki-laki� daripada perempuan.

Kekerasan dalam Hubungan Heteroseksual

Perbedaan perlakuan masyarakat pada perempuanpun berlanjut sampai dengan mereka mengalami masa puber, anak perempuan �diperintahkan� untuk sangat hati-hati, karena bisa kehilangan kegadisan yang dijadikan lambang �kebaikan� seorang perempuan. Mereka yang tidak gadis lagi akan dicemooh dan diperlakukan sebagai tertuduh perilaku seksual bebas oleh calon suaminya kelaknya. Sementara tidak ada satupun ukuran atau standar �keperjakaan� yang ditetapkan oleh masyarakat dan yang bisa terukur dalam hubungan suami istri nantinya. Pada akhirnya seorang laki-laki menjadi merasa sangat bebas untuk melakukan apa saja dalam masa-masa pacaran, sementara perempuan harus menjaga diri dari sergapan nafsu pacarnya, dituntut untuk tidak terlalu �bernafsu�, muncul ketakutan ditinggal saat sudah �diperawani�, dan harus menunjukkan �kesetiaan� seperti pasangan suami istri sah. Akhirnya muncul kekerasan saat pacaran yang dialami oleh remaja putri, yang diistilahkan sebagai dating violence. Ada kecenderungan seorang laki-laki dalam pacaran mengontrol dan mendominasi korban (pasangan perempuan) dengan intimidasi, ancaman, kekerasan fisik, emosional, seksual dan verbal (Flowers, 2002). Selanjutnya Flowers mengatakan bahwa perilaku agresif ini dilakukan untuk mengurangi frustasi, obsesi dan kecemburuan laki-laki terhadap pasangannya. Memang kondisi ini bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan, namun demikian laki-laki lebih dominan sebagai pelaku daripada korban. Sebagai contoh, seorang perempuan yang baru mengambil keputusan untuk berpacaran dituntut untuk selalu ada di samping pacarnya, selalu �ditunggui� saat sekolah/ kuliah, diomeli dengan kata-kata buruk saat dijemput dan tidak berada di tempat pada saat yang ditentukan, berjalan bersama teman laki-lakinya, dipaksa untuk menonton film bertemakan seksual, mendapatkan paksaan untuk melakukan tindakan seksual dari petting, necking bahkan raping (pemerkosaan). Banyak juga yang mendapatkan perlakuan fisik yang tidak mengenakkan saat mereka sudah tidak perawan lagi, disundut rokok, dianggap sampah, harus selalu melayani hubungan seksual agar tidak ditinggal lari oleh pasangannya, dipukuli sampai ada yang menyebabkan kematian karena dipaksa untuk menggugurkan kandungannya.

Kondisi perempuanpun menjadi sangat terpuruk dalam memperoleh hak-hak seksualnya saat mereka menikah. Tuntutan untuk selalu menjaga diri dari perilaku ketidaksetiaan, dengan cara menyapihnya dengan berbagai pekerjaan rumah tangga dan urusan anak-anak yang waktunya tidak terbatas, siang malam. Hal itu berlaku tidak hanya pada para perempuan yang tidak bekerja, tetapi juga pada mereka yang bekerja. Tuntutan kultur yang �tidak boleh tidak� harus melayani suami dalam kondisi apapun, melakukan hubungan seksualitas dengan berbagai ragam posisi yang tidak diinginkan (abnormal) harus dilakukan demi �menyenangkan� suami atau ada ketakutan suami akan �jajan� di luar, sehingga menggunakan berbagai cara untuk membuat suami �betah� di rumah, dengan senam seks, minum obat-obatan yang membuat wangi vagina, �gurah� vagina dsb.

Belum lagi tuntutan untuk selalu tampil �ayu� tapi tidak nampak �liar� dan �menggoda�, tidak boleh menerima tamu tanpa sepengetahuan suami, tidak boleh berkata terlalu �kenes� dengan orang lain, tidak boleh terlalu menampakkan �ingin� berhubungan seksual, tidak mendapatkan kesempatan untuk �memulai� berinisiatif dalam melakukan hubungan seksual. Sementara itu laki-laki dengan terang-terang atau diam-diam berpetualang untuk melampiaskan dorongan seksualnya dengan berbagai cara dan alasan ketidakmampuan istri, istri yang tidak lagi �dandan�, istri yang tidak wangi seperti dulu lagi, istri �bau bawang�, dsb.

Kondisi ini diperparah lagi dengan adanya berbagai kekerasan seksual terhadap istri (domestic violence). Menurut Undang undang Anti Kekerasan Rumah Tangga, yang dimaksud dengan kekerasan seksual adalah sikap atau perbuatan yang mencakup pelecehan seksual, memaksa seseorang berhubungan seksual tanpa persetujuan atau pada saat tidak menghendaki, melakukan hubungan seksual dengan cara yang tidak wajar atau tidak disukai dan atau memaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan orang lain. Sementara itu menurut Hayati (dalam Fauziyanah, 2002) bentuk kekerasan seksual antara lain tidak memenuhi kebutuhan seksual istri, memaksa istri melakukan hubungan seksual pada saat sedang tidak ingin melakukannya atau dengan cara yang tidak disukai oleh istri, memaksa istri menjadi pelacur, dan memaksa istri untuk menggugurkan kandungannya. Bentuk kekerasan seksual inilah yang sering terjadi pada perempuan, namun demikian tidak banyak terlaporkan karena menganggap hal itu aib yang tidak boleh disebar-luaskan atau ada kemungkinan ketergantungan secara ekonomi dan psikologis memaksa perempuan untuk tetap menjadi korban kekerasan. Sementara itu masyarakat tidak begitu berharap dan seakan mencemooh bila ada perempuan yang mengungkapkan persoalan kekerasan seksualnya di hadapan publik, seperti kasus Hughes yang menyatakan perilaku seksual menyimpang suaminya yang menjadi penyebab dari keinginan untuk menceraikan suaminya. Banyak tanggapan miring terhadap Hughes yang dianggap �gak ilok� berbicara tentang urusan �tempat tidur� di depan masyarakat luas.

Optimalisasi Hak Seksual Perempuan dalam Kerangka Emansipasi non Liberal

Banyak upaya yang dilakukan perempuan untuk mempertanyakan atau melawan kesewenangan pengungkapan hak-hak seksualnya, baik yang dilakukan dalam bentuk mengorganisasi diri dalam barisan LSM perempuan, meningkatkan bargaining politik dalam bentuk Undang-undang Anti Kekerasan atau mengedepankan penyelesaian hukum. Namun demikian ada pula yang secara ekstrim mencanangkan hak-hak seksual perempuan yang sangat liberal, yakni hak untuk melahirkan atau tidak, hak untuk menikah secara heteroseksual atau homoseksual, hak untuk melakukan aborsi, hak untuk tidak menikah, hak untuk menjadi single parent, dsb. Jawaban dengan cara-cara seperti itu tidak akan pernah memberikan penyelesaian keterpurukan dari ketidakadilan mengungkapkan hak-hak seksual perempuan.

Perubahan yang dilakukan harus tetap memperhatikan kodrat sebagai wanita dan laki-laki, dilakukan secara konstruktif dan evolutif dan struktural. Seorang wanita memiliki kemampuan untuk melahirkan, menyusui dan melakukan hubungan seksual yang semestinya. Artinya tidak ada perlawanan terhadap kodrat perempuan untuk mendapatkan hak-hak seksualnya. Seorang perempuan harus menempatkan diri dalam perkancahan politik agar mampu mewarnai keputusan-keputusan politik yang sangat rawan dengan distorsi dominasi kultur pria. Sebagai contoh, tidak banyak anggota parlemen dari golongan wanita padahal jumlah wanita secara statistik lebih banyak daripada pria, parahnya wanita lebih percaya menempatkan anggota parlemen pria yang lebih cocok dariapada golongan mereka sendiri. Perubahan secara struktural bisa dilakukan apabila kaum perempuan mampu menginformasikan kesewenangan dalam kancah media sebagai upaya untuk menebas dominasi pria yang terlalu besar. Perubahan yang diharapkanpun tidak kemudian sangat revolutif dan liberal sehingga menimbulkan desakan �perpecahan� yang berujung pada munculnya kembali �revenge� dominasi pria dengan kekuatan yang lebih besar. Penyadaran secara normatif melalui seminar, sosialisasi hak-hak seksual dan kekerasan seksual, kembali kepada ajaran agama yang semestinya, tetap menjujung tinggi akan kesadaran pentingnya nilai moral, yang terus menerus dilakukan akan membawa wanita menjadi sosok yang selalu diharapkan kehadirannya. Emansipasi tidak berarti perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki, tetapi emansipasi menempatkan pria dan wanita sebagai dua pribadi yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Tidak ada wanita, maka jangan berharap ada laki-laki, begitu pula tidak ada laki-laki jangan berharap ada perempuan. Keduanya tidak terpisahkan satu sama yang lain, baik dalam hak sebagai manusia umumnya, dan khususnya dalam hak-hak seksual, hak untuk mendapat reproduksi sehat, hak untuk terbebas dari kesewenangan, hak berpolitik dan hak untuk mendapatkan keadilan dalam perilaku seksual.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment