Gerakan Sosial Untuk Merubah Paradigma Violence Journalism Menuju Peace Journalism

Andik Matulessy

Disampaikan dalam acara ngabuburit Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi
Universitas Merdeka Malang, 29 Oktober 2004


Television has brought murder back into the home---where it belongs (Alfred Hitchcock)


PENDAHULUAN

Ada pepatah mengatakan pena lebih tajam daripada pedang, yang berarti sebuah tulisan bisa menyakitkan dan memberi dampak yang besar dibanding dibunuh dengan sebilah pedang. Pepatah ini tidak muncul begitu saja tanpa sebuah kebenaran, tetapi banyak bukti yang mendukung hal ini. Begitu besarnya pengaruh tulisan di media sehingga bisa memberikan dampak yang sangat besar pada kehidupan masyarakat bahkan dunia Internasional sekalipun. Para jurnalislah yang bisa merubah wajah dunia menjadi menyenangkan ataukah menyedihkan, karena mereka akan mengungkapkan realitas, opini, asumsi, deskripsi sampai dengan penyimpulan akan fenomena yang terjadi di kehidupan social ini. Sebagai contoh ungkapan Koran akan kerusuhan di sebuah tempat akan memicu fanatisme pada salah satu kelompok yang bertikai, uraian berita tentang pemerkosaan akan memicu solidaritas pada korban, headline pemberantasan korupsi bisa memunculkan kegamangan para koruptor, berita sweeping di bulan Ramadhan menimbulkan pro kontra pada sebagian besar pembaca. Belum lagi tayangan media elektronik seperti TV lebih menimbulkan dampak secara psikologis dan social, misalnya tayangan kekejaman Israel terhadap rakyat Palestina menyebarkan kebencian pada sosok tentara Israel, pemberitaan bom di ibukota menimbulkan turunnya nilai rupiah, menyebarkan ketakutan / hysteria masyarakat ibukota, memunculkan polemik kegagalam inteligen, ungkapan kemarahan masyarakat pada pelaku, dsb. Masih banyak contoh dari kemungkinan / dampak yang terjadi dengan tayangan dari hasil kerja para jurnalis.

Di dalam encyclopedia of knowledge Grolier (1995), the broad term journalism can be defined as those mass-communication activities which pertain to the collection and publishing of news-related material for general and specialized segments of society. Berdasarkan definisi tsb nampak sekali bahwa jurnalisme terkait dengan segala aktivitas komunikasi massa yang mengumpulkan dan mempublikasikan materi berita yang diperuntukkan bagi masyarakat umum atau kelompok social tertentu. Selanjutnya ada dua jenis / bentuk media yang terkait dengan jurnalisme yakni media cetak, surat kabar dan broadcast atau media elektronik, seperti radio dan televisi, yang sekarang mencakup pula tayangan dunia maya di internet dalam bentuk berita elektronik.

Media cetak surat kabar diperkenalkan pertama kali oleh Johann Gutenberg tahun 1450 yang dikenal sebagai periode awal perkembangan jurnalisme modern. Perkembangan berikutnya dimunculkan oleh John Dickinson, Thomas Paine dan Samuel Adams yang memunculkan jurnalisme politik. Sementara itu periode yang terkenal dengan New Journalism dimunculkan oleh Joseph Pulitzer yang memunculkan Koran dalam bentuk yang lebih modern dan sirkulasi yang lebih cepat. Pengembangan berikutnya dari media cetak ini muncul dalam bentuk majalah (magazine). Sementara itu radio sebagai media komunikasi muncul tahun 1916 oleh Lee de Forest yang melakukan prediksi bahwa Charles Evans Hughes akan menjadi Presiden AS pada tahun tsb. Televisi mulai eksis sejak tahun 1920 sebagai media jurnalistik yang berperan dalam kehidupan manusia.

Pengaruh media yang begitu besar dalam kehidupan manusia ini memunculkan berbagai persaingan antar media untuk memberikan informasi terkini, terbaik dan diminati oleh khalayak masyarakat. Kalau dilihat di Indonesia saja perkembangan jumlah media cetak dan elektronik sebagai media jurnalisme modern begitu besar. Apalagi manusia kini berubah bentuk menjadi manusia yang sangat haus akan informasi, karena berdasar informasi itulah bisa menjadi titik tolak seseorang untuk bersikap, berperilaku dan mengambil keputusan penting tentang kehidupannya. Kalau dikaji lebih dalam hampir sebagian besar waktu individu digunakan untuk mencari informasi, sejak bangun dari tidur kita membutuhkan surat kabar, televisi yang memunculkan berbagai berita, radio yang dijadikan wahana untuk refreshing, mencari jalan terhindar dari kemacetan, dsb. Polling yang dilakukan Gallup (Myers, 2002) tahun 1945 di Amerika menunjukkan hampir 98 % rumah tangga di Amerika memiliki televisi lebih banyak dibandingkan dengan bathtub atau telepon. Bahkan ditemukan pula tayangan Baywatch memiliki jutaan pemirsa di hampir 144 negara di dunia. Apalagi media menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu pada saat ada peristiwa penting, misalnya pemilu legislative, pemilu presiden, kebijakan pemerintah, info tentang persoalan di dunia Internasional. Kalau diibaratkan media sebagai sebuah stimulus social, maka akan sangat mempengaruhi respon seseorang dalam menghadapi dunia nyata. Bahkan hampir tidak ada orang di dunia ini yang tidak membutuhkan atau terimbas dari pengaruh media ini. Jurnalisme dan media bagaikan putting beliung yang siap untuk menerjang barrier hubungan antar manusia.

Kondisi riil seperti inilah yang membuat media berlomba-lomba memunculkan berbagai informasi dengan berbagai cara yang kadang-kadang melenceng dari realitas kejadian, kurang mempertimbangkan cover both story, bernada provokasi, tidak objektif, ada keberpihakan bahkan menimbulkan ketidakstabilan politik. Hal lain yang bisa terjadi tujuan utama junalisme untuk memberikan informasi yang akurat dan terpercaya, tapi dibungkus dalam tata ungkapan yang bernada kekerasan, akan bisa menyebabkan distorsi informasi, sehingga mengembangkan image yang negatif pada individu, kelompok, ras atau etnis tertentu. Penggunaan bahasa yang provokatif tsb memang di satu sisi bisa meningkatkan perhatian seseorang untuk tertarik membeli namun di sisi lain bisa memunculkan ledakan-ledakan emosional pada suatu permasalahan. Bahkan yang lebih parah lagi asumsi, pernyataan, deskripsi atau uraian dari para jurnalis dianggap sebagai informasi awal yang mengisi relung-relung kognitif seseorang, yang dipercaya dan menolak info baru yang lain. Apabila ungkapan atau deskripsi tersebut memang berisi hal-hal yang berpihak pada realitas dan mengedepankan objektivitas, tentunya akan berpengaruh positif karena idealisme informasi yang akurat akan terpenuhi. Namun demikian saat ada distorsi informasi, yang tidak mendasarkan pada pijakan fakta, akan menumbuhkan kebencian dan persepsi negatif pada figure individu atau kelompok tertentu.Sebagai contoh penelitian dari Gerbner, Fernandez-Collado dkk, Greely, Laumann dkk menemukan bahwa televisi merefleksikan mythology kultur yang penuh dengan distorsi realitas. Apalagi trend pada jurnalisme modern ada prosedur legal yang memproteksi identitas nara sumber; kebebasan pers (freedom of the press), yang implikasinya kadang-kadang memunculkan jurnalisme yang sensasional, bias, tidak akurat, arogan dan berpihak pada pemilik media.

DAMPAK MEDIA TERHADAP PERILAKU INDIVIDU

Penelitian psikologi tentang pengaruh tayangan media terhadap perilaku individu banyak dilakukan, di antaranya :

1. Penelitian Chris Boyatzis dkk (Myers, 2002) pada tahun 1995 yang mengaitkan antara tayangan program televisi yang memiliki unsure kekerasan (Power Rangers) dengan perilaku agresif anak-anak SD. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa televisi bisa menjadi penyebab munculnya perilaku agresif pada anak-anak.
2. Huston dkk (Myers, 2002), menemukan bahwa anak-anak sekolah dasar di Amerika menonton 8000 tayangan pembunuhan dan 100.000 tayangan kekerasan.
3. Penelitian William Belson tahun 1978 pada 1565 anak-anak London tentang pengaruh tayangan yang berbau kekerasan (realistic violence not cartoon violence) terhadap perilaku kekerasan yang dilakukan menunjukkan ada keterkaitan tayangan dengan violent acts setelah jangka waktu 6 bulan.
4. Penelitian dari Albert Bandura dan Richard Walters tahun 1963 juga menemukan keterkaitan antara tayangan televisi dengan perilaku agresif anak-anak. Bandura kemudian memunculkan teori belajar social (social learning theory).
5. Leonard Berkowitz dan Russell Green tahun 1966 menemukan bahwa mahasiswa yang marah disebabkan menonton film yang bertemakan kekerasan.
6. Riset Ross Parke tahun 1977 di USA dan Jacques Leyens tahun 1975 di Belgia mengambil kesimpulan bahwa �Exposure to movie violence�..led to an increase in viewer aggression�.
7. Penelitian Susan Hearold tahun 1986, Wendy Woods dkk tahun 1991, serta George Comstock dan Erica Scharrer tahun 1999, mengambil kesimpulan bahwa �viewing antisocial portrayals is indeed associated with antisocial behavior�.

Dari berbagai penelitian di atas ternyata memang ekspos media akan mempengaruhi perilaku dengan berbagai catatan, antara lain :

1. It is not the violent content itself that causes social violence but arousal it procedures (Muller & others, 1983 : Zillmann, 1989)
2. Viewing violence primes the viewer for aggressive behavior by activating violence-related thoughts (Berkowitz, 1984: Bushman & Green, 1990; Josephson, 1987)
3. Media portrayals also evoke imitation, the children in Banduras experiments reenacted the specific behaviors they had witnessed.

Jadi media mampu memunculkan perilaku tertentu yang perilaku tsb belum tentu positif, namun perilaku yang negatif banyak muncul dari kehadiran media tsb. Disorsi infomarsi, penekanan pada selera pasar, keinginan untuk mendapat keuntungan yang besar bisa mengarahkan pada jurnalisme yang penuh dengan kekerasan dan kepalsuan. Dampaknya akan muncul tipikal perilaku individu yang rapuh, tidak sehat, penuh dengan prasangka dan anti social.

MENUJU JURNALISME YANG DAMAI

Menurut Ralph K White (dalam Ancok, 2004) nobody wanted war, tidak seorangpun yang menyukai peperangan. Hal tersebut berarti manusia sebenarnya juga menginginkan keterdekatan dan kerjasama dengan orang lain, berinteraksi secara positif dan menjalin hubungan yang lebih dalam antara satu dengan yang lain. Namun demikian realitasnya banyak keinginan untuk berkonflik dengan orang lain. Selanjutnya Ralph K White menekankan bahwa ada 6 hal yang bisa menyebabkan terjadi konflik, antara lain diabolical enemy image (pandangan bahwa musuh jahat seperti setan), vipile self image (pandangan bahwa dirinya jantan), moral self image (pandangan dirinya lebih bermoral), selective inatention (tidak memperhatikan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan), absence of emphaty (tidak adanya empati), military over confidence (keyakinan yang berlebihan akan kekuatannya). Pandangan yang dikemukakan oleh White inilah yang dianggap menjadi titik tolak munculnya konflik. Oleh karena itu jurnalisme perlu mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, artinya segala berita harus mempertimbangkan sisi / perspektif dari orang atau kelompok yang diberitakan serta konsumen dari penyantap berita. Artinya tulisan tidaklah mencerminkan kemarahan akan sosok/ figure tertentu, ungkapan berita tidaklah mengindikasikan prasangka, mempertimbangkan dampak yang mungkin terjadi pada orang/ kelompok tsb, tidak memandang bahwa kelompoknyalah yang paling benar, dsb.

Sherif (Sarwono, 1998) mengungkapkan bahwa pemecahan konflik bisa dilakukan dengan beberapa cara di antaranya adanya tujuan bersama, artinya tujuan individu individu bisa disubstitusikan pada tujuan bersama yang lebih besar untuk kepentingan bersama. Hal tersebut berarti kemampuan semua warga negara dari berbagai lini untuk saling menghargai pandangan, perasaan dan respon orang lain akan menumbuhkan kebersamaan. Jurnalisme yang mengedepankan kepentingan bersama tentunya tidak hanya sekedar mengungkapkan berita tanpa kendali, tetapi memperhitungkan dampak yang mungkin terjadi dalam kehidupan bangsa dan negara. Tujuan bersama atau Super ordinate goal dapat mengurangi konflik antar kelompok (Ancok, 2004). Super ordinate goals yang kita raih saat ini adalah bagaimana menciptakan Indonesia yang aman dan sejahtera.

SUMBER
Myers, David G. 2002. Social Psychology.McGraw Hill. New York
Ancok, Djamaludin. 2004. Psikologi Terapan, Mengupas Dinamika Kehidupan Manusia. Yogyakarta
Sarwono, Sarlito W. 1998. Psikologi Sosial, Psikologi Kelompok dan Psikologi Terapan. Balai Pustaka. Jakarta
Grolier. 1995. Encyclopedia of Kenowledge.

Previous
Next Post »
Thanks for your comment